Wednesday, May 1, 2024

Kesalahan Jurnalistik : Aligator Gar di Jatiluhur


( Dari artikel blog pribadi tahun 2013)

Berita penangkapan seekor ikan buaya (aligator gar) di waduk Jatiluhur membuat heboh. Kebetulan ada seorang ahli perikanan yang bisa mengidentifikasi bahwa ikan itu adalah Aligator Gar, ikan impor buas dan bisa tumbuh hingga 3 meter. Bukan penemuannya yang membuat saya agak kaget, tapi bagaimana jurnalis yang memberitakannya melakukan kesalahan berjamaah. 

Sebelumnya ikan yang mirip juga ditemukan di daerah Surabaya, Mojokerto dan Bogor.
Berita yang ditulis tentang penemuan ikan di Mojokerto dan Surabaya cukup membuat saya tertawa. Ikan itu digambarkan sebagai ikan mistis dan jadi-jadian di beberapa media online lokal. Tentunya seorang reporter harus menunjukkan kebenaran, dan bukan sekedar mencari gampang menggambarkan sesuatu dengan cara seperti itu. Namun beberapa dotcom lokal memberitakan dengan cara yang sama.  Akhirnya, ada juga media online yang mau bersusah payah bertanya pada ahli yang mengerti tentang ikan, dan lucunya mereka mendapat informasi bahwa ikan itu adalah dari genus Lepisus Peus.
Entah siapa yang memulai tapi genus itu kemudian menyebar di berbagai media, bahkan media online sekelas Kompas.com dan Detik.com. Padahal ketika saya cari di buku biologi, genus itu sepertinya tak ada.

Sampai lama sekali tak ada media yang memperbaiki atau mau repot mencari genus sebenarnya dari ikan yang ditemukan itu. Hanya sebuah beberapa blog pribadi seperti xfile-enigma.blogspot.com yang mau repot membantahnya.

Beberapa waktu kemudian, muncul berita ditemukannya ikan Aligator Gar di waduk Jatiluhur. Ikan yang ditangkap dipampangkan, dan berbagai mediapun memberitakan. Semua dengan gampang mengacu ke berita terdahulu, dan sok yakin bahwa mereka ada di genus yang sama: Lepisus peus.. waduh.. Dari seorang kontributor, saya mendapat info itu yang diucapkan seorang ahli saat ditanya jenis ikan apa itu. ahli? baiklah. namun, kok bisa tak ada jurnalis yang berusaha memverifikasi jawaban sang ahli itu ya? atau paling tidak bertanya, bagaimana ejaan lepisus peus itu...

Saya ambil cara gampang. Tanya mbah google. 
Ikan Aligator Gar sesuai dengan klasifikasi sains (saya cek di wikipedia) ada dalam family : Lepisosteidae. Dari Family itu dibagi menjadi dua genus (jenis) yaitu Genus Atractosteus dan genus Lepisosteus…. Ya, Lepisosteus kedengarannya mirip dengan Lepisus peus kan? 

Saya pun menduga para peliput awal hanya salah mendengar, tapi mbok ya tanya penulisan yang benar. 
Kemudian saya iseng melihat gambarnya, daaaaan... ternyata Aligator Gar yang ditemukan di Surabaya dan Mojokerto pun bukan termasuk Lepisosteus. Cukup dengan satu jepretan google lens, terjawab bahwa itu genus Atractosteus. cek dan re-check ke berbagai situs perikanan, ternyata benar begitu. 

Jadi kesalahan yang diawal hanya berupa salah dengar, tidak dikonfirmasi, tidak di verifikasi dan ditulis saja. Kesalahan itu kemudian menjadi data dan dianggap kebenaran oleh jurnalis berikutnya yang mengutip berita itu. Bahkan (dalam kasus ini) para jurnalis tak berusaha lagi mencari data detail tentang ikan Aligator Gar. Mereka percaya saja bahwa Aligator Gar nama ilmiahnya adalah Lepisus peus… ugh!

Itu kenapa akurasi menjadi tanggung jawab besar dari para jurnalis, sebab kesalahan mereka bisa menjadi dianggap kebenaran dimasa datang. 

Beruntung masih ada media televisi yang benar menyebutkan bahwa diduga ikan yang ditangkap di waduk Jatiluhur adalah Atractosteus. Mereka tidak mengunakan nama latin Lepisus Peus. Kelihatannya mereka sempat melihat gambar dan melakukan sedikit browsing sebelum menayangkan beritanya. Itu yang benar. 

Salah satu azas dalam dunia jurnalistik adalah akurasi. Sayangnya, karena tuntutan kecepatan, seringkali akurasi ditinggalkan oleh para praktisi jurnalistik. Jangan dulu terlalu menyalahkan para praktisi ini, banyak hal yang membuat mereka memilih kecepatan daripada akurasi. Apa saja alasan itu? Diantaranya adalah sistem upah pay per items, dimana jurnalis dibayar berdasarkan jumlah item berita mereka yang tayang. Biasanya sistem ini dialami para kontributor televisi dan media online. Semakin banyak mereka membuat berita yang tayang, semakin besar penghasilan kita.
Akibatnya saat mendapat berita hangat, sang jurnalis berusaha sebanyak-banyaknya untuk menulis berita. Akurasi pun dibuang ke tong sampah.

Jurnalis juga terpaksa meliput berbagai jenis berita. Kadang berita tersebut termasuk hal yang kurang mereka pahami, dan akibatnya mereka bergantung pada keterangan orang yang mereka wawancarai.
Saya pernah menjadi produser selama beberapa tahun, dan sudah tak terhitung beberapa puluh kali menerima complain tentang akurasi crew saya. Seorang ahli tehnik memprotes istilah yang digunakan dalam sebuah berita, Seorang ahli sosial menyalahkan cara seorang reporter menggunakan sebuah istilah sosial, atau seorang pilot yang mengejek pengetahuan penulis naskah tentang dunia penerbangan.

Reporter memang HARUS mengetahui banyak hal, tapi mereka juga manusia. Seorang pilot jelas lebih tahu dunia penerbangan daripada seorang reporter, atau ahli sosial bisa dengan lincah menerangkan definisi dan kegunaan berbagai istilah sosial dibanding seorang newswriter. Reporter nyaris tak mungkin mempelajari secara mendalam semua yang mereka liput karena akan menjadi terlalu luas.

Dalam jurnalistik ada yang disebut Beat Reporter, yaitu reporter yang hanya memahirkan peliputan di satu masalah saja. Wartawan ekonomi misalnya, harus memperdalam segala hal tentang ekonomi. Begitu juga reporter dengan beat hankam, tentunya harus paham pangkat dan seluk beluk militer. Tapi tidak semua reporter beruntung menjadi beat reporter tertentu. Kebanyakan mereka dipindah-pindahkan setiap hari. Hari ini liputan politik, besok kriminal, dan besoknya lagi malah berbasah-basah liputan banjir.

Saya tidak bilang bahwa kesalahan seorang reporter harus dimaklumi, reporter tetap harus memastikan segala yang ia sampaikan pada masyarakat itu akurat dan benar.

Yup sedikit menambah kerepotan demi akurasi, tapi saya pikir cek dan ricek dan verifikasi harus dilakukan teman-teman reporter sebelum menuliskan beritanya.  Seperti dikatakan Joseph Pulitzer, bahwa hanya ada 3 azas utama dalam jurnalisme, yaitu: Akurasi, Akurasi dan Akurasi. Jurnalisme selalu mengenai akurasi data dan fakta, bukan sekedar gosip, katanya atau praduga sang reporter sendiri.

Eddi Kurnianto

Tuesday, September 17, 2013

Prinsip Liputan Seorang JurnalisTV



Ada sejumlah prinsip dalam meliput suatu peristiwa bagi seorang jurnalis, tulisan ini saya sadur dari sebuah daftar yang dibuat Satrio Arismunandar dalam salah satu tulisannya. Tentunya saya tambahkan penjelasan yang merupakan interpretasi individual saya terhadap tulisan tersebut. Silahkan membaca

1) Jangan menambah-nambahi sesuatu yang tidak ada; jangan seperti kebiasaan beberapa pekerja infotainment. Karena melihat artis A berjalan bersama artis B, tanpa verifikasi mereka menyebarkan issu bahwa artis A dan B berpacaran. Lucunya Issu yang berasal dari mereka langsung diangkat ke layar, seolah olah issu itu sudah berkembang di masyarakat. 

2) Jangan mengecoh audiens; Sebisa mungkin jangan sampai memilih informasi dan data yang besar, dan menyembunyikan yang lain, dengan tujuan untuk menggiring pemirsa atau membohonginya. Mengatur fakta-fakta dan data dengan tujuan membangun image (atau sebaliknya) bukan pekerjaan seorang jurnalis. Serahkan kepada praktisi iklan dan Public Relation.

3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; jurnalis sebaiknya jujur dalam melakukan liputan, baik dalam motif maupun metode yang dilakukan. No Malice layak disebutkan disini. Seorang jurnalis melakukan liputan untuk mencari kebenaran, bukan untuk menjatuhkan orang lain. Saat melakukan wawancara sebisa mungkin jelaskan maksud interview tersebut. Banyak Jurnalis yang mencari mudah dengan berpura-pura menjadi warga biasa, dan kemudian obrolannya dengan sang narasumber dibuat seolah-olah menjadi wawancara resmi. Itu termasuk tidak jujur -walau mungkin bukan berbohong sepenuhnya. 
Untuk Jurnalis televisi, kewajiban membawa kamera dan mengambil gambar memang mengurangi kecenderungan itu, tapi tetap saja ada. candid camera dan menerobos daerah privacy orang lain hanya boleh dilakukan saat keamanan warga masyarakat mengalami ancaman, bukan dimanfaatkan karena sulit meminta izin peliputan. Begitu juga membohongi narasumber untuk sekedar mendapat soundbite yang keras, itu tidak diizinkan...

4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; Saat seorang jurnalis melakukan peliputan, seharusnya dia mengandalkan data dan fakta yang dikumpulkan atau di konfirmasi sendiri olehnya. Jurnalis TV mengalami godaan yang sangat besar terkait dengan hal ini. banyak jurnalis TV yang menulis hingga berbusa-busa, padahal tak punya gambar. Jika ditanya mereka hanya menuliskan satu kata di kolom gambar mereka: footage!
Footage adalah gambar yang sudah diambil sebelumnya, biasanya memang disimpan untuk kondisi darurat. Memang boleh dipakai, tapi itu membuat karya jurnalistik itu tidak sempurna.
Seorang jurnalis TV seharusnya membuat paket lengkap, lengkap wawancaranya, lengkap gambarnya dan lengkap pula ceritanya. Usahakan mengambil wawancara dan gambar sendiri, kontrol waktu liputan anda agar selalu sempat melengkapi gambar dan wawancara tersebut. Jangan mencari gampangnya; menitipkan soundbite pada rekan lain, meminta diambilkan gambar oleh jurnalis lain, atau langsung menelpon kantor minta dicarikan footage gambar.  Selesaikan sendiri karya anda!
Godaan yang tak kalah kuat adalah membuat paket berita berdasarkan karya orang lain di Youtube! atau situs internet lain.

5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu:  ehm.... riset-lalu verifikasi ulang data yang diperoleh. Nggak usah ragu buka buku, buka internet dan tanya ahlinya. Jurnalis bukan orang yang paling tahu kok. cek tulisan saya di http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/18/akurasi-dalam-berita-aligator-gar-589480.html . disana ada kasus bagaimana sok tahu bisa membunuh kredibilitas seorang Jurnalis. 

semoga tulisan ini bisa jadi pelajaran buat kita semua.

Wednesday, June 12, 2013

Tujuh Dosa Besar Jurnalisme 

(Seven deadly sin of journalism)


Beberapa hari ini saya kembali merenung karena tulisan seorang guru saya. Dia yang saya sebut guru ini melalui tulisan-tulisannya yang sederhana dan bermakna dalam memang selalu membuat saya tertegun dan melakukan perenungan. koreksi diri istilah kerennya.
Tulisan yang membuat saya tertegun kali ini adalah ocehan di social media tentang  melakukan ‘dosa besar’ saat menjadi jurnalis. Tulisannya sontak mengingatkan saya pada sebuah buku karya bang Pepih Nugraha tentang  Citizen Journalism.  Ada bab dalam buku itu yang menyinggung khusus tentang tujuh dosa besar dalam jurnalisme[i] yang sering dilakukan, baik disadari maupun tidak, oleh seorang jurnalis. Saat saya melakukan browsing di Internet, ternyata sangat banyak ‘dosa’ itu dilakukan oleh para peselancar di dunia maya. Tidak hanya oleh para ‘citizen journalist’, tapi juga para jurnalis resmi dari institusi media resmi.  Saya bahkan mendapat kesan, mereka menulis tanpa mempertimbangkan tata sopan santun berinternet[ii]
 “Dosa-dosa” itu adalah:
1.       penyimpangan informasi
2.       dramatisasi fakta
3.       serangan privasi
4.       pembunuhan karakter
5.       eksploitasi seks
6.       meracuni pikiran anak
7.       penyalahgunaan kekuasaan
saya ingin merinci sedikit dosa-dosa besar yang berbahaya ini. Mudah mudahan dapat berguna bagi kita semua, mengingatkan agar lebih bijaksana saat ingin menjadi jurnalis.
  1. Penyimpangan Informasi
Kalau pewarta warga (citizen journalist) memasukan banyak opini dan informasi yang belum terverifikasi dalam tulisannya, tentu masih dapat dimaklumi, tapi jika media profesional dengan institusi resmi juga memasukkan informasi yang belum jelas, tentu itu bukan masalah sepele. Alkisah sebuah media online memberitakan tentang seorang buruh pabrik bernama Saih menemukan satu tas uang berisi 435 juta rupiah. Alih alih mengambilnya, ia malah mengembalikan kepada orang yang berhak; seorang bendahara yang menjatuhkan uang gaji karyawan perusahaan yang baru diambilnya.  Cerita berakhir happy ending, Saih diberi sepuluh juta dan sang bendahara selamat dari pemecatan. 
 Tentunya berita tersebut menarik perhatian banyak orang.  Di zaman edan seperti ini, saat sang wakil  rakyat hobi menghambur hambur uang yang diwakili, saat petugas malah memeras para pembayar pajak, dan nyaris semua hal memerlukan upeti demi kelancaran; kejujuran terasa lebih berkilau dari emas. Wajar kalau berita tersebut menyentuh hati banyak orang. 
Sayangnya berita itu ternyata tidak seluruhnya benar.
Ada banyak versi yang beredar dari media online itu. Versi yang kemudian dikutip banyak anggota forum sosial di internet (diantaranya bahkan forum kompas dan kaskus)  yang berpikir sederhana, bahwa kalau sebuah berita muncul di media massa resmi pasti sudah terverifikasi kebenarannya.  
Ceritanya makin simpang siur. Bahkan diantara sesama media online pun berbeda.  Seorang jurnalis televisi pun penasaran dan mencoba menelusuri cerita sebenarnya. Segera setelah selesai ia memberi tahu saya, bahwa cerita yang sesungguhnya berbeda. Saih, sang buruh memang benar-benar jujur mengembalikan tas yang ditemukannya. Penerimanya juga bendahara sebuah pabrik.  Itu benar. Tapi yang lainnya seperti mengarang indah.
Sebenarnya tas yang ditemukan Saih tidak berisi ratusan juta seperti kabarnya, tapi hanya berisi 900 ribu uang milik sang bendahara. Sisanya adalah slip gaji karyawan yang memang totalnya mencantumkan 400an juta.  Saih hanya menerima uang jasa sekadarnya dari sang bendahara,  bukan 10 juta rupiah. Intinya, berita awal disebuah media massa online itu menyimpangkan informasi demi sesuatu; entah dramatisasi, atau pemanjaan khayalan romantis sang reporter.
Menyakitkan buat saya yang juga sempat menjadi jurnalis, karena ini adalah institusi/media massa resmi yang membuat kesalahan ini. Dulu saya dicekoki bahwa menurut Joseph Pulitzer  salah satu ‘bapak’ jurnalisme dunia,  yang terpenting dalam jurnalisme  ada tiga hal. Yaitu:  Akurasi,  Akurasi dan Akurasi..
Penyimpangan informasi ini sangat mungkin terjadi, mungkin dalam rangka mencari dramatisasi suatu kejadian, mempertegas kesalahan salah satu pihak atau bahkan supaya menarik perhatian dan bisa ditayangkan oleh sang editor. Kesalahan ini sering dialami, dan tidak disadari oleh para jurnalis. Padahal tanpa membelokkan informasi pun, seringkali kekeliruan terjadi.  Misalnya, kalau anda membaca tulisan saya dan tidak familiar dengan berita itu, maka mungkin sekali anda akan menyangka bendahara yang saya sebut diatas adalah seorang pria. .. dan saya tidak berniat menyimpangkan informasi apapun.
Beberapa link yang saya bahas diatas ada dibawah ini:

       2. dramatisasi fakta

Drama memang menarik perhatian. Baik di media tulisan ataupun (apalagi!) di media audio visual. Hal itu menyebabkan banyak orang (baca: jurnalis) berusaha mencari unsur drama dalam beritanya. Tentunya hal itu tidak dilarang, karena dalam nilai berita yang diajarkan di kampus-kampus pada para calon dosen dan jurnalis muda juga selalu ada nilai Human Interest dan Drama. Kalau ada sebuah peristiwa yang punya nilai dramatis tinggi berarti memang nilai beritanya akan ikut melonjak, Itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah saat orang berusaha menambahi drama pada sebuah berita yang fakta-faktanya sendiri kurang jelas.
Contoh paling nyata adalah berita bunuh diri, di koran atau di televisi sering ada tulisan atau narasi yang berlebihan mendramatisasikan peristiwa bunuh diri itu. Misalnya dalam tulisan di sebuah media online ini.   
PEKANBARU- Tim SAR berhasil mengevakuasi jenazah Ahmad Afandi (25) di tepian Sungai Siak, Pekanbaru, Riau. Korban diduga bunuh diri dengan terjun ke sungai karena frustasi tidak bisa melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2).
Penemuan jenazah pemuda yang baru lulus sarjana oleh tim SAR itu dibantu masyarakat sekira pukul 10.00 WIB. Jenazah ditemukan di dekat jembatan Siak III Pekanbaru atau sekira 3 kilometer dari lokasi terjunnya Afandi di Sungai terdalam di Indonesia itu.
"Korban ditemukan oleh warga tersangkut kapal dengan posisi telungkup," kata Kapolsek Sektor Kawasan Pelabuhan Pekanbaru, AKP Hermawi, Rabu (6/3/2013) di lokasi.
Kapolsek mengatakan bahwa korban terjun  ke Sungai Siak pada Minggu, 3 Maret 2013 sekira pukul 20.00 WIB.
Setelah ditemukan, tim SAR bersama pihak Kepolisian langsung mengevakuasi korban. Selanjutkan korban dibawa ke rumah duka di Perumahan Putri Tujuh,Panam Pekanbaru.
"Motif sesungguhnya mengapa korban nekat terjun masih kita selidiki," imbuhnya.
Djoni Kusbiono, seorang  praktisi Periklanan, menulis: “Bohong dan dramatisasi memang jelas berbeda. Bohong berarti, fakta tersebut tidak ada alias tanpa fakta. Sedangkan dramatisasi berarti, fakta tersebut ada narnun disampaikan secara berlebihan.[iii]
Dalam Contoh,  sang penulis seolah tahu persis alasan orang yang tewas itu membunuh diri, padahal di bagian akhir polisi pun masih mencoba menyelidiki.  Memang ada fakta bahwa orang yang mati baru lulus kuliah dan gagal mendapatkan beasiswa ke jenjang berikut. Dengan (hanya) berbekal data itu, penulis membuat dugaan bahwa itu adalah alasannya untuk bunuh diri. Ia mendramatisasi fakta yang ada.
Kalau memang ada yang menduga bahwa orang yang tewas itu bunuh diri karena tak bisa melanjutkan S2, maka sebaiknya orang yang menduga itu juga dimasukkan ke kutipan. Itu cara menulis berita yang lebih baik.
Lain lagi dramatisasi di sebuah media cetak harian yang sering dianalogikan sebagai koran kuning, dengan judul-judul provokatif dan ‘lebay’ mereka berusaha menarik minat para pembacanya.  Fenomena itu juga sempat dibahas oleh Iwan Awaluddin Yusuf dalam blog[iv]nya. Salah satu bahasannya saya kutipkan disini:
berita berjudul “Burung Mau Matuk, Istri Ngantuk, Yang Punya Burung Ngamuk” berikut.
“…Malam itu, Suminah sudah pulas tidur. Apalagi, seharian penuh mengurus rumah dan anak-anak…Suminah pun dibangunkan. Tapi karena sudah telanjur pulas, Suminah tak juga bangun. Padahal, malam itu Rahman sedang on alias sedang kepingin. Mungkin kalau Rahman itu Ahmad Dhani, dia tak ragu berteriak. “Aku sedang ingin bercinta!”.
Tapi Suminah sudah terlanjur malas. Rahman terus memaksa. Dan Suminah pun marah sambil menggerutu. Mendengar itu, rahman tak suka. Biarpun tengah malam, mereka cuek saka ribut mulut. Saling memaki dan makin lama suara mereka makin keras. Sampai akhirnya, “Plakkk!” Tangan Rahman sudah mendarat di pipi Suminah.
Kali ini Suminah tak bisa menahan air matanya. Melihat istrinya menangis. Rahman makin semangat. Dia terus memukuli Suminah seperti Mike Tyson memukuli lawan-lawannya yang gendut. Tak peduli Suminah menangis, rahman malah cuek saja memegangi tangan Suminah. Dan “Krakk” tangan Suminah pun dipelintir… (LM, 9 Agustus 2008)”
Menarik memang gaya penulisannya.  Menarik karena seolah-olah bercerita, tapi jadi mengurangi akurasi karena dramatisasi berlebihan pada fakta-fakta yang didapat. Berita mengenai sebuah kekerasan dalam rumah tangga malah menjadi cerita ringan ditangan penulis ‘berita’ ini.  Tentunya dramatisasi yang berlebihan juga terjadi di media televisi dan radio. Lihat daja, ada beberapa stasiun televisi yang tidak sungkan memberikan backsound musik pada berita-berita mereka. Kalau berita sedih maka musik pun mendayu-dayu, saat berita kriminal backsound pun berubah seperti film laga. Bahkan ada petinggi televisi berita yang beranggapan, kalau berita yang bagus harus didramatisasi... 
  1. serangan pada privasi
Pada dasarnya semua orang (bahkan penjahat, artis, koruptor dan pejabat) punya hak pribadi yang harus dihargai, sayang media massa sebagai salah satu institusi yang seharusnya paling mengerti hal itu malah kerap mengabaikannya. 
Coba saja tonton televisi saat ini, berapa banyak televisi yang dalam berita kriminalnya berusaha menutupi wajah sang tersangka pelaku kejahatan. Padahal mereka baru tersangka, belum terbukti melakukan kesalahan.  Tapi itu belum seberapa, lihat berapa banyak media televisi mengabaikan hak-hak korban kejahatan asusila, bahkan anak anak.  Walaupun mengambil wajahnya dari belakang, tapi dengan jelas menyebutkan sekolah dan kelasnya. Dengan gamblang juga memampangkan wajah sang tersangka, padahal kebanyakan tersangka pelaku adalah orang dekat korban. Belum lagi saat mewawancara ayah atau ibu korban.  Tentunya setelah menonton berita itu, semua teman dekat, tetangga, kawan sekolah dan keluarga langsung tahu siapa korban itu.
Jadi perlindungan macam apa terhadap privasi korban itu? bukannya dilindungi, ia malah menjadi korban kedua kalinya.
Saya bahkan tak mau lagi detil membahas perlakuan pekerja infotainmen kepada narasumbernya. Hakikatnya saya memang tidak menganggap teman teman itu sedang menjalankan tugas jurnalistik, jadi saya tidak akan repot repot membahas pelanggaran mereka.
  1. Pembunuhan karakter
Menurut Dr. Erman Anom, MM  pengajar komunikasi di Universitas Esa Unggul, Jakarta. Pembunuhan karakter  ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
Dalam Jurnalisme pembunuhan karakter sering terjadi saat media membahas tentang kesalahan-kesalahan seseorang atau sekelompok orang. Untuk memperkuat berita mereka, seringkali para jurnalis melakukan penyelidikan yang searah dengan bagian paling heboh dalam berita itu. 
Saat seorang dokter di sebuah rumah sakit dituduh membuat cacat seorang bayi oleh orang tua bayi itu, para jurnalis berduyun duyun datang. Mereka mulai menggali-gali keburukan dari sang dokter, rumah sakit tempat kejadian dan korban-korban lain yang pernah dikecewakan oleh rumah sakit itu. Tujuannya memang memperkuat berita yang diperoleh, tapi informasi yang dicari dengan gaya itu hanya akan menghasilkan informasi yang senada; menjelekkan dokter atau rumah sakit tersebut.  
Lain lagi kasus Aceng, sang bupati Garut. Awalnya berita tentangnya adalah kasus kawin siri yang berakhir dalam 3 hari, dan rentetan berita itu berakhir dengan cap tukang kawin dan suka melecehkan wanita.  Diluar bukti-bukti yang dikumpulkan para jurnalis, berita yang susul menyusul dan nyaris semuanya negatif tentang Aceng, telah membunuh karakternya sebagai politisi senior. Aceng yang tadinya adalah politikus yang cukup baik (terbukti bisa mencapai jenjang bupati) sampai tak lagi laku, bahkan saat mendaftar menjadi caleg sebuah parpol baru.
Sebenarnya sudah ada cara yang pas untuk mencegah terjadinya berita satu arah yang menuju pada pembunuhan karakter ini;  namanya Balance Reporting. Dengan menjalankan itu, jurnalis bisa tetap menjaga beritanya tetap benar dan berimbang.  Beri kesempatan seimbang antara berita yang positif dan negatif tentang suatu hal, biar masyarakat yang menarik kesimpulan. 
       5.       eksploitasi seks
Seks memang selalu jadi daya tarik bagi media. Tak perlu membuka majalah atau koran, cukup berjalan ke stand penjual koran dan perhatikan display mereka.  Perhatikan bahwa di hampir semua majalah dan sebagian koran ada gambar yang mengeksploitasi sensualitas. Perhatikan juga bahwa banyak judul yang dibuat bombastis, provokatif bahkan vulgar secara seksual.
Bukan hanya koran dan majalah, buka juga situs situs berita online. Buka bagian hot gossip, berita entertainmen dan selebritis.  Gambar-gambar sensual mengundang niscaya memenuhi monitor anda. Belum lagi iklan-iklan dikanan kirinya yang juga mengeksploitasi seks dan sensualitas.
Buka juga bagian berita metro. Lihat bagaimana berita pencabulan, pelecehan,  perkosaan dan razia warung remang remang selalu muncul.  Saksikan juga di berita berita televisi –terutama saat malam hari- entah kenapa berita-berita sejenis muncul. Beberapa teman produser malah yakin bahwa pria, sasaran audience berita-berita malam itu, selalu tertarik dengan kasus perkosaan, pencabulan maupun razia para pekerja seks.
Tak tahu pendapat itu benar atau tidak, tapi saya sendiri muak dan merasa jijik kalau melihat berita pencabulan murid oleh guru,  perkosaan anak oleh kenalan di facebook atau berita berita sejenis.  Menurut saya, kemunculan berita yang mengeksploitasi seks tanpa pertimbangan matang dan sekedar mencari cerita heboh, pada gilirannya akan mempengaruhi pemirsanya.
Dalam tulisan lain mengenai bunuh diri, saya menyampaikan bahwa media massa terutama televisi mampu memicu pembenaran
Siaran yang berulang-ulang tentang suatu tindakan membuat masyarakat menjadi lebih toleran, dan pada gilirannya menganggap tindakan itu layak dipertimbangkan. Bahkan seolah-olah siaran tersebut memberi ide pada orang-orang yang sudah memiliki kecenderungan menyetujui arah tindakan tersebut. Contoh sederhananya peristiwa kawin cerai di kalangan artis yang sangat sering diberitakan media, lambat laun dianggap wajar, dan bukan lagi sebuah aib bagi seorang artis untuk kawin cerai. Kalau dulu bercerai konsekuensinya sangat berat dalam masyarakat, kini kawin cerai hanya sekedar peristiwa biasa. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau yang disiarkan berulang-ulang adalah pencabulan anak oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.
       6.       meracuni pikiran anak
Seperti apa yang digolongkan meracuni pikiran anak? Kalau dari tayangan televisi saja mungkin saya akan berkata; sinetron, infotainment dan film anak-anak yang menghalalkan kekerasan, sihir dan adegan pacar-pacaran yang berlebihan antara dua anak dibawah umur.  Tapi yang sedang kita bicarakan adalah jurnalistik, jadi saya tidak akan berkata seperti itu.
Banyak sekali cara meracuni pikiran anak-anak, mulai dari iklan sampai tulisan jurnalistik. Racun yang disampaikan juga bukan hanya berbentuk pornografi atau konsumerisme, tapi juga pemakluman dan perusakan nilai/norma yang dianut anak-anak itu. Tengok beberapa contoh berita ini:
Beberapa berita tentang anak yang bunuh diri gara-gara tak bisa sekolah, menyakiti hati saya. Berita tersebut seolah membuat anak yang bunuh diri adalah korban, dan tidak bisa sekolah adalah penyebabnya.  Berita berita seperti ini seolah menafikan bahwa sekolah adalah sesuatu yang wajib dan sangat penting, bahkan dibandingkan nyawa.  Beberapa berita yang terus di follow up, mencerminkan anak yang bunuh diri adalah korban.. tidak bersalah… terpaksa melakukan bunuh diri karena haknya sekolah tak diberikan. Luar biasa! Bunuh diri adalah salah, tak bisa sekolah bukan akhir dunia, itu nilai nilai yang ditanamkan pada saya sejak kecil.
Dan itu baru salah satu contoh. 
Jargon kuno: “bad news is good news”  membuat banyak jurnalis memilih memberitakan kesedihan kesengsaraan dengan negatif. Menghilangkan optimisme dan kemampuan berpikir positif.
Buat saya, itu juga racun yang sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa..
     7.   Penyalahgunaan kekuasaan
Disaat pemerintah Indonesia sangat peduli pada pencitraan, media masa (dan jurnalis sebagai pelakunya) mendapat suntikan kekuatan yang sangat besar. Media seperti  punya kekuatan untuk menentukan nasib seseorang. Saat seorang selebritis atau pemimpin politik terkena masalah,  media bisa jadi pemangsa yang sangat kejam atau justru tameng yang sangat kuat.
Pencitraan jadi senjata utama. Tak masalah melakukan kawin cerai, memukuli kekasih atau bahkan membohongi public, selama didukung oleh media.  
Tak heran banyak politisi berupaya memperoleh akses ke Media Massa. Penguasaan media jelas akan meningkatkan prosentase keberhasilannya. Tentunya itu adalah penyalahgunaan kekuasaan media. Rasanya bukan rahasia lagi persaingan politik dan pengaruh sudah merasuk ke media.
Akibatnya, jurnalis yang notabene hanyalah buruh di media tempatnya bekerja juga terseret. Jurnalis yang bekerja disebuah media akan dipaksa  membela pemiliknya, menghindari berita yang menyakiti pemiliknya dan mem blow up berita yang merusak saingan sang pemilik.
Contohnya? Silahkan nonton saja televisi berita….
Itu adalah 7 dosa besar Jurnalis yang sering terjadi dan masih terjadi. Saya juga tak luput dari dosa-dosa seperti itu.  Dengan mengerti dosa-dosa itu, mudah mudahan para jurnalis (baik yang memiliki institusi resmi ataupun pewarta yang warga) dapat menghindari, atau paling tidak meminimalisasi kesalahan serupa.
Mudah mudahan tulisan ini bermanfaat…
Eddi Kurnianto


[i] Aslinya dimunculkan dalam tulisan karya Paul Johnson, “what is wrong with the media and how to put it right”. Dikutip dari buku Pelanggaran Etika Pers; Dewan Pers
[ii] silahkan lihat: Virginia shea. Netiquette(1994) dengan versi online di: http://www.albion.com/netiquette/book/TOC0963702513.html

Sunday, March 31, 2013

manajemen program TV

Apa Itu Programming  ?    

Jika di analogi kan dengan Komputer, Programming adalah software. Secara sederhana Programming adalah proses seleksi dan penjadwalan program yang dirancang oleh seorang  programmer acara secara sistematis. 

Apa Tujuan Programming  ?
    
Tujuan utama programming dalam sebuah televisi komersial adalah mengoptimalkan (memperbanyak)  jumlah pemirsa dan membantu memaksimalkan revenue.
Meskipun tujuan utamanya adalah memperbanyak jumlah pemirsa, tapi tugas   programing di Televisi bukan hanya itu. Porogramming memiliki beberapa tugas yaitu:
  • •    Akuisisi program   
  • Pembelian program, baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai macam cara pembelian bisa dipilih oleh seorang programmer yang bertugas mengakuisisi program, tapi semua harus memiliki tujuan untuk membeli program yang baik (secara kualitas maupun komersial) semurah mungkin agar stasiun dapat memperoleh margin keuntungan sebesar-besarnya.
  • •    Schedulling program
  • Membuat jadwal penayangan program, biasanya untuk jangka waktu mingguan-bulanan-sampai tahunan, yang mendukung pencapaian penonton sebesar-besarnya.  Schedulling ini  harus mempertimbangkan berbagai hal seperti; ketersediaan audience, pesaing, daya tarik program, peraturan lembaga negara, kesempatan komersial (penjualan) dan lain-lain.
  • •    Monitoring program
  • Programmer juga harus melakukan pengawasan program, dan menentukan program mana yang masih bisa dikembangkan, harus diperbaiki, dipindah jam tayang atau bahkan harus diganti. Dalam pengawasan program ini programmer akan melakukan penilaian melalui survey secara kualitatif dan kuantitatif terhadap program tertentu.
  • •    Developing program
  • Programmer akan bekerja sama dengan divisi produksi atau pemberitaan yang membuat program, menyarankan perbaikan dan penyempurnaan terhadap program. Tentunya saran ini berdasarkan temuan dari hasil survey yang dilaksanakan secara teratur.

AKUISISI

Dalam pelaksanaan akuisisi, pembelian program dari luar bisa dilakukan melalui berbagai pihak, seperti:
•    Label Film
•    Network atau broker film
•    Production House
•    Individual maker

Adapun cara pembelian yang sering dilakukan adalah melalui cara:
•    Beli putus
•    Beli paket / bundling
•    Kerjasama Produksi / lisensi
•    Blocking time
•    Share Iklan

SURVEY

Pelaksanaan survey sangat penting bagi programming. Ada dua jenis survey yang digunakan dalam mengevaluasi program atau sekedar melihat selera audience dan trend. Kedua sistem survey tersebut adalah:
  1. Survey Kualitatif 
  2. Survey Kuantitatif

Survey kuantitatif, biasanya mengandalkan data dari lembaga survey seperti AC Nielsen, SRI atau LSI. Lembaga yang paling umum digunakan adalah AC Nielsen. Di lembaga tersebut  ada beberapa metode pengumpulan data yang dilakukan, yaitu:
  •     Manual    :
  • Dengan kuesioner yang disebarkan oleh pewawancara khusus ataupun formulir isian sukarela yang dikumpulkan seminggu sekali dari panel sampel.
  • •    Elektronik :
  • Dengan remote elektronik yang mencatat dan mendata penggunanya saat memindahkan channel TV di rumah mereka.
  • •    Otomatis :
  • Pencatatan otomatis dari alat yang terintegrasi langsung dengan televisi di rumah rumah responden/panel sampel.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN RATING DAN SHARE :

TV Ratings (TVR)
Prosentase pemirsa yang menonton acara tertentu dari total populasi televisi atau target pemirsa



Rating (%) = (Pemirsa / total populasi TV) x 100 %

TV Share (TVS)
Prosentase pemirsa suatu saluran atau acara tertentu dari jumlah pemirsa televisi yang menonton saat itu.


Share (%) = (Pemirsa satu acara/ total penonton TV saat itu) x 100 %


Tuesday, January 27, 2009

jurnalisme, binatang apa sih itu?

Jurnalisme adalah bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan dan menganalisa informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk trend, masalah, dan orang.

Orang yang mempraktekan jurnalisme disebut jurnalis.

Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (Dalam bahasa Inggris dikenal dengan 4W1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend. (wikipedia.com )

Jurnalisme dapat diberi ciri khusus.
Melalui penelitian dalam committee of concerned journalists, yang menggelar 21 fora dengan 3000 anggota, dan bekerja sama dengan badan penelitian dari berbagai universitas untuk melakukan 103,5 jam wawancara dengan 300 orang journalis dari seluruh dunia, diperoleh beberapa prinsip dasar mengenai jurnalisme.

The Elements of Journalism

• Journalism’s first obligation is to the truth
• It’s first loyalty is to citizens
• Its essence is a discipline of verification
• Its practitioners must maintain an independence from those they cover
• It must serve as an independent monitor of power
• It must provide a forum for public criticism and compromise
• It must strive to make the significant interesting and relevant
• It must keep the news comprehensive and proportional
• Its practitioners must be allowed to exercise their personal conscience

Bill Kovach & Tom Rosentiel, The Elements of Journalism.

Patokan-patokan tersebut sampai saat ini masih dianggap sebagai patokan dasar yang paling mendekati deskripsi elemen-elemen dasar dalam sebuah disiplin ilmu yang disebut jurnalisme.

Setelah mengetahui prinsip-prinsip dasar dari jurnalistik, kita lanjutkan ke tugas utama seorang jurnalis, yaitu mencari berita. Karena tulisan ini ditujukan untuk para trainee di media penyiaran TransTV, maka penjabaran tugas utamanya disesuaikan dengan jurnalisme di dunia broadcast dan bukan jurnalisme media cetak.


Reporter yang baik bisa membedakan berita bagus/kuat dari berita yang lebih lemah. Ketrampilan membedakan nilai berita itu disebut News Judgement,

News Judgement itu biasanya diperoleh melalui pengalaman dan kedalaman pengetahuan sang reporter. Dengan memiliki News Judgement yang baik, sang reporter dapat memilih melakukan liputan yang lebih penting terlebih dulu dari yang kurang penting. Hasilnya akhirnya adalah meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja sang reporter/ camera person.

---small note---------------------------------------------------------

Market driven Journalism
“..a commodity to fit the market demands of a collection of special interests”
Intinya adalah media broadcast selain media yang sangat berpengaruh sebagai media massa, juga merupakan institusi bisnis yang padat modal. Dalam prakteknya, seringkali jurnalis dalam dunia penyiaran atau broadcast harus melakukan kompromi antara kepentingan bisnis (dalam artian memberikan apa yang ‘diinginkan’ masyarakat) dan kepentingan jurnalisme (memberikan apa yang ‘dibutuhkan’ masyarakat).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, televisi fungsinya sudah bergeser dari media massa menjadi institusi bisnis, tak heran berbagai kepentingan ikut mempengaruhi news judgement para reporter di dalamnya. Kepentingan pemilik dan kebutuhan akan rating dan share tinggi sering membelokkan nilai-nilai berita yang ada.
Meskipun begitu, tetap ada beberapa nilai yang bisa dijadikan patokan seberapa penting sebuah berita bila dibandingkan dengan berita lain. Nilai-nilai ini diakui oleh nyaris semua jurnalis di dunia, walaupun dalam urutan dan porsi yang berbeda-beda. Nilai –nilai tersebut sering disebut sebagai nilai berita (news value). Semakin banyak news value yang dimiliki oleh sebuah berita, semakin berharga berita tersebut.

Berikut adalah beberapa news value yang berlaku universal…

• New
Kebaruan sebuah informasi. Semakin baru sebuah informasi bagi pemirsanya maka semakin berharga sebuah berita. Tentunya kebaruan adalah relatif. Bagi seseorang sebuah informasi adalah baru, bagi seseorang belum tentu baru bagi orang lain.

• Timely (actuality)
Semakin aktual sebuah berita, semakin berharga. Aktual berarti tengah menjadi bahan pembicaraan. Jika sebuah berita masih aktual, masih menjadi menjadi pembicaraan ia memiliki nilai berita. Tapi nilai berita itu akan berakhir kalau lewat dari masanya. Berita itu menjadi basi atau tidak aktual. Lawan dari timely adalah timeless, ada beberapa jenis berita yang tidak memiliki batasan waktu penayangan. Biasanya berita feature atau soft news. Berita seperti itu disebut berita timeless, dan tidak menjadi basi.

• Important
Yang dimaksud penting adalah berita yang memiliki pengaruh besar, terutama bagi kepentingan negara. Menurut Riza Primadi, berita yang dianggap penting adalah berita yeng mempengaruhi hidup berbangsa dan bernegara. Contohnya: rapat rapat DPR dan MPR. Walaupun tak menarik dan tidak baru, tetapi dianggap penting karena mempengaruhi masalah pelaksanaan pemerintahan negara.

• Unique / Bizzare
Berita berita yang unik, mengenai benda, orang ataui peristiwa yang tidak biasa atau aneh biasanya menarik perhatian orang, dan karenanya memiliki nilai berita.

• Conflict
Konflik bersenjata, konflik antar suku, bentrokan fisik atau bahkan sekedar perseteruan antara beberapa pihak dapat menjadi salah satu selling point dari sebuah berita. Secara naluriah manusia tertarik pada konflik antar sesama manusia apalagi dibalik konflik biasanya ada cerita yang menarik, berupa intrik atau teori konspirasi yang memancing rasa ingin tahu, bagaimana konflik ini berlanjut dan bagaimana akhirnya.

• Drama/Human Interest
Manusia selalu tertarik dan memperhatikan hal hal yang berkaitan dengan manusia lain atau kehidupan manusia secara keseluruhan. Dan hanya pada manusia lain, kita dapat merasa simpati2 dan empati. Dari segi broadcast; Sebagian besar penonton televisi menyalakan TV set dirumahnya untuk mencari hiburan. Karena itu seringkali dalam membuat berita televisi, para jurnalis juga harus memperhatikan keinginan ini. Hiburan tentu saja bukan Cuma berbentuk tari tarian atau nyanyi dan lawak. Hiburan bukan Cuma mencari senyuman atau tertawa. Selera manusia memang unik; mereka senang ditakut takuti (horor), ada yang suka di buat menangis (drama tragedi), ada yang suka diajak bermimpi indah (fantasi) dan sebagainya.

• Prominence
Its not news that make the people.. it’s the People that make the news. Orang penting identik dengan berita. Apapun yang dilakukan sosok tokoh masyarakat bisa menjadi bahan perbincangan menarik, dan akibatnya menjadikan informasi itu memiliki nilai berita.

• Scandal
Sama dengan human interest yang lebih mengedepankan rasa iba dan simpati, scandal memuaskan keingintahuan penonton terhadap hal-hal yang tabu atau tak pantas.

• Impact & Relevance
Akibat yang ditimbulkan suatu informasi bisa menjadikannya memiliki nilai berita tinggi. Sementara relevance berarti selagi berita itu memiliki relevansi terhadap pemirsa, mereka akan menonton berita itu, dan berarti berita itu memiliki nilai berita. Misalnya berita kenaikan suku bunga bank indonesia mungkin hanya relevan bagi para pialang dan pebisnis, tapi kenaikan harga BBM relevan bagi semua penduduk. Berita kenaikan BBM memiliki impact bagi seluruh masyarakat, sehingga lebih tinggi nilai beritanya daripada kenaikan harga mobil yang cuma ber akibat pada segelintir orang.

• Magnitude
Besarnya skala suatu berita. Berita 1 orang keracunan, tentu kalah berharga dari berita satu kampung keracunan. Berita terbakarnya pasar tanah abang pasti dianggap besar, tapi jika dibandingkan berita tentang tsunami aceh, magnitudenya menjadi kecil.

• Proximity
Kedekatan penonton pada suatu masalah tertentu akan mem buat informasi tentang masalah itu memiliki nilai berita. Kedekatan ada dua macam, kedekatan fisik dan kedekatan emosional/psikologis.
Contoh : Kedekatan fisik : bagi orang jakarta berita angin ribut tanpa korban di jabotabek lebih penting daripada berita angin ribut yang membawa 4 korban jiwa di Finlandia . Kedekatan emosional : berita penyerangan Palestina oleh Israel menjadi penting di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, sehingga punya kedekatan emosi dengan masyarakat Palestina yang mayoritas juga Muslim.

Setelah mengetahui cara menilai berita, reporter juga harus memilih bentuk dari News Item (berita) yang akan digunakannya. Masing-masing bentuk memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, tapi pemilihan bentuk tersebut biasanya didasari oleh nilai berita tersebut dan durasi yang ada.

-----------small note -------------------------------------------------------
Bentuk berita

yang umum digunakan saat ini adalah:

Package
Bentuk ini biasanya dipilih untuk berita yang cukup menarik dan lengkap. Dikatakan lengkap karena diperlukan kelengkapan data, soundbite, narasumber yang seimbang dan bisa dilengkapi dengan PTC dari sang reporter. Bentuk package ini memiliki keuntungan bagi reporter dan campers, karena dibagian akhir biasanya disematkan Sign Off yang isinya adalah nama sang pembuat berita tersebut.

Voice Over (VO).
Bentuk ini adalah bentuk standar dari berita spot. Keunggulannya adalah kecepatan dan biasanya digunakan untuk berita kejadian. Voice over bentuknya adalah gambar kejadian lengkap dengan natsoundnya, kemudian diberikan narasi yang dibacakan oleh narator atau bahkan langsung oleh presenter.

Sound On Tape (SOT)
Pada hakekatnya SOT adalah soundbite. Biasanya SOT digunakan jika ada soundbite sangat penting dari orang yang kredibel, tapi tidak ada informasi atau gambar yang bisa digunakan untuk melengkapinya. SOT bisa langsung dinaikkan 15 – 30 detik dengan didahului lead dari presenter.

Reader
Reader adalah sebuah naskah atau berita singkat yang dibacakan langsung oleh presenter, tanpa disertai gambar. Reader hanya digunakan jika ada sebuah berita yang sangat penting, harus segera diketahui public, tapi tidak ada gambar apapun saat itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Reporter biasanya sudah mengetahui sejak saat liputan, apakah beritanya bisa dijadikan paket, atau hanya sekedar VO, tetapi pada saat liputan selalu diarahkan untuk mencari berita selengkap-lengkapnya agar bisa dijadikan paket. Keputusan untuk membuat paket, VO, SOT atau reader adalah milik produser acara.

Saturday, October 18, 2008

BELAJAR JADI JURNALIS

TERIMA AMPLOP?!

Beberapa hari terakhir saya dikejutkan dengan datangnya beberapa teman reporter junior yang menyerahkan amplop. Ya, amplop berisi uang. Para jurnalis muda itu terpaksa menerima amplop saat melakukan liputan. Mereka merasa rikuh menolak pemberian dari narasumber yang begitu baik pada mereka. Huh… itu jadi masalah. Karena mereka melapor ke saya, maka saya yang akan ketiban pulung dan harus ikut bertanggungjawab.

Untuk pekerjaan lain mungkin amplop tidak lebih penting dari map atau kantong kertas, tapi bagi seorang jurnalis, amplop menjadi simbol dari sesuatu yang harus dihindari.
Maksudnya memang bukan amplopnya tapi isinya.

Menerima amplop memang sangat personal. Hanya 50 persen jurnalis penerima amplop bisa dibuktikan (kalau ketahuan sih sudah pasti). Sekali lagi keputusan menerima atau menolak amplop memang sangat personal, sangat tergantung pada moral dan kondisi sang jurnalis. Saya termasuk aliran yang berusaha menghindari Amplop..
Amplop sebaiknya ditolak oleh jurnalis serius yang benar-benar ingin menjadi pewarta sejati. Alasannya menurut saya adalah dibawah ini:

1. Menghilangkan ciri seorang jurnalis.
Terima amplop berarti menghilangkan independency sang jurnalis. Bagaimanapun, pasti akan ada perasaan tidak enak atau sungkan untuk menghajar satu narsum, kalau kita menerima uang darinya. Uang juga bisa membuat jurnalis kehilangan sikap ketidak perpihakan yang seharusnya selalu dimiliki seorang jurnalis. Apalagi kalau menerima secara rutin, dan karenanya secara tidak sadar mulai mengharapkan sang amplop itu.

2. Menerima amplop berarti menghargai diri anda.
Saya tidak salah tulis, … yang saya maksud memang benar seperti yang tertulis di atas. Maksud saya adalah; begitu anda menerima amplop dari seorang sumber atau pihak yang diliput, sama saja anda memberi harga pada diri dan profesionalitas anda. Kalau hari ini anda menerima amplop yang isinya 500 ribu, maka besok sang pemberi sudah melabeli anda dengan harga. “Oh… kalau jurnalis anu dari TV itu cukup kasih 500 ribu sudah aman. Kalau si fulan dari TV ini harus 1 juta baru terima.” Itu harga anda. Murah? Bayangkan kalau anda mengambil amplop yang isinya hanya 50 ribu. Sedih kan?
Jurnalis harusnya priceless, dan apapun bendanya begitu ada harganya maka pasti bisa dibeli. Jangan mau jadi jurnalis yang bisa dibeli.

3. Menerima amplop sama saja korupsi.
Dengan menerima amplop sama saja memasyarakatkan budaya suap dan korupsi. Selain munafik (karena wartawan seharusnya punya fungsi untuk mengawasi proses pemerintahan - fungsi anjing penjaga), menerima uang juga memudahkan wartawan untuk diancam oleh pemberi uang.

Kalau bagi jurnalisme menerima amplop berarti begitu buruk, kenapa selalu saja ada jurnalis yang mengambil amplop (berisi uang) yang disodorkan? Menurut pengetahuan saya ada beberapa hal yang sering dijadikan alasan, misalnya:


Ø Nggak enak pada teman-teman dari TV lain.
Ø Takut dimusuhin kalau nggak nerima.
Ø Nggak enak pada narasumber
Ø Terlalu ribet dan sibuk untuk menolak saat itu
Ø bingung cara menolaknya.
Ø diambil oleh teman liputan.


Ini adalah sebagian alasan yang sering terdengar. Saya sendiri mengharapkan jurnalis, terutama yang baru, mau disiplin dengan menolak segala macam bentuk pemberian atau suap atau hadiah. Sekali menerima maka akan memudahkan tindakan menerima selanjutnya. itu akan merusak perkembangan selanjutnya dari sang jurnalis muda. Sebenarnya kalau memang mau fair, jika sudah memilih profesi sebagai jurnalis seharusnya juga menerima resikonya. Jangan Cuma mau status dan gajinya saja…
Jadi bagaimana caranya menolak amplop, atau menyelesaikannya tanpa masalah kalau terlanjur diterima? Dibawah ini saya list beberapa ide yang mungkin bisa berguna.

Menghindar.
Pemberian amplop biasanya bisa diprediksi. Selalu ada orang-orang yang bertugas mendata dan membagikan amplop itu (biasanya humas atau coordinator dari jurnalis senior). Mengetahui siapa mereka tidak susah kok kalau mau mengamati. Cara terbaik adalah menghindar dari mereka. Usahakan menolak kalau diajak pergi ke tempat sepi (biasanya menjelang acara yang diliput berakhir). Kalau mereka nggak bisa menemukan kita, kita nggak perlu menolak amplop yang mereka siapkan.

Tolak dengan halus
Jelaskan baik-baik pada narasumber bahwa jurnalis tidak boleh menerima uang (kecuali dari kantornya ya). Jelaskan juga bahwa kita menolak uang juga demi kehormatan bersama. Kita akan lebih menghormati narasumber dan berharap dia juga lebih menghormati kita. Katakan saja bahwa jurnalis lebih senang kalau dibantu dalam pekerjaan berupa perijinan atau fasilitas, daripada diberi uang. Lakukan penolakan secara personal agar tidak mempermalukan sang narsum juga.

Tolak dengan keras
Cara ini baru diambil kalau narsum (atau ada teman-teman dari media lain) cenderung memaksa. Katakan pada mereka bahwa menawarkan uang berarti menghina profesi seorang jurnalis. Kalau mereka menawarkan uang, berarti mereka tidak menghargai kita. Kembalikan langsung di tempat, kalau dilakukan dengan sopan tapi cukup keras, mungkin malah menimbulkan respect dan bukan kemarahan.

Terima dan serahkan ke kantor.
Kadang-kadang kita kekurangan waktu atau terlalu repot untuk menolak. Sering juga Amplop diselipkan ke lembaran informasi yang kita terima dan lupa di cek. Kalau itu terjadi, keputusan yang paling aman adalah membawa amplop itu pulang dan menyerahkannya kepada pihak kantor untuk dikembalikan atau di selesaikan sesuai peraturan yang berarti.

Terima dan bawa pulang
Kalau memutuskan untuk membawa pulang uang itu, ingat bahwa keputusan itu diambil secara pribadi. Resikonya harus juga ditanggung sendiri. Jangan memamerkan, memberitahu atau membagi pada rekan kerja karena kalau diusut, bahkan menerima tanpa tahu bahwa itu adalah uang hasil amplop, tetap beresiko besar menerima hukuman standar; dipecat! Kalau berani bertindak, beranilah bertanggungjawab.

saran saya tetap saja; kalau berani atau mau mengambil amplop dari narsum, mendingan berhenti sekalian dari jalur jurnalisme. Memang tetap saja keputusan mengambil atau menolak tergantung pada pribadi masing-masing jurnalis. kalau saya menolak amplop, seorang rekan saya yang juga jurnalis, menyarankan untuk mengambil saja amplop itu, tapi dengan syarat jumlahnya minimal 5 miliar rupiah....