Wednesday, September 24, 2008

LIPUTAN YUK

Ada perubahan dalam sistem liputan saat ini. Nyaris semua reporter dan kamera person berfungsi seperti mesin, datang dan pulang pada jam yang sudah ditentukan. Datang pagi, liat proyeksi, jalan liputan, pulang, nulis naskah, rapat lalu pulang. Jarang sekali ada jurnalis muda yang mengusulkan liputan jadi dan membuat sendiri rancangan liputannya. Mereka lebih mirip tentara yang siap menerima perintah daripada seniman yang bangga pada karya-karyanya.

Dalam tulisan berikut, saya ingin menyampaikan beberapa check list yang mungkin berguna untuk reporter atau VJ yang mencoba menyempurnakan liputannya.

1. jangan berangkat dengan kepala kosong. Riset lah sebelum berangkat. usahakan agar sang reporter jangan sekedar menjadi mike stand (cuma megangin mike doang). Riset latar belakang masalah dan narasumber yang bisa dikontak. kalau serius, you'll be amazed what you could found in internet. Supaya tidak terlalu banyak meriset, sebaiknya sang reporter harus slalu update. Baca koran, majalah, internet, dengera radio (jangan lagunya aja). Be a news freek!!

2. walau harus mengisi kepala, tetap saja better empty head than empty stomach hehehe.... gak makan nanti lemes, informasi lupa semua dah. makanya makan dulu sebelum liputan. Makan lah saat bisa makan, sebab pekerjaan ini (jurnalistik) selalu bermusuhan dengan waktu. Segera makan begitu ada waktu luang dan bisa, makan sebaik-baiknya, sebab jangan-jangan itu adalah kesempatan terakhir untuk makan di hari itu...

3. Scedulling is everything. Jurnalis yang baik adalah jurnalis yang efektif dan efisien. rencanakan liputan sedetail mungkin, pakai target waktu kalau perlu. Rencanakan mulai dari pengambilan gambar, lama membuat PTC, wawancara, waktu mencari narasumber, waktu perjalanan (jarak antar TKP), dan ekstra waktu sebelum deadline. Usahakan liputan dilaksanakan sesuai dengan schedulle tersebut.

4. Bawa catatan. Banyak reporter yang mengandalkan rekaman pada kamera untuk mencari soundbite kemudian, ini bukan hanya memperlambat, tapi juga menyusahkan sang reporter membuat naskah di luar kantor (misalnya: diminta mendiktekan naskah, membuat naskah di mobil dst). Biasakan mencatat data dan soundbite yang diinginkan, termasuk time codenya di kaset. itu akan memudahkan pencarian dan pemilihan soundbite saat editing.

5. Jaga kontak dengan kantor. Laporkan kalau kamu berniat bergeser atau menemukan berita yang menurut kamu menarik, supaya tidak ada tim ganda di satu lokasi dan kamu tidak dianggap menyeleweng dari tugas. Misalnya lagi jaga DPR terus sepi mau geser ke balaikota, jangan lupa telp korlip, takutnya di balaikota udah ada orang atau kalau kemudian ada apa-apa terjadi di DPR, kamu tidak disalahkan karena gesernya sudah seijin korlip.

6. Ngobrol dong.. Rencanakan liputanmu bersama sang kamera person. Ngobrol ! tentukan jenis liputan sesegera mungkin, kalau ada ide segera informasikan. Intinya adalah komunikasi antara reporter dan camera person harus terus terjadi.


udah ah... ayo liputan.

Monday, September 8, 2008

TIPS PTC BUAT SOLO JOURNALIST ATAU VJ.

Show your real skill


Pasti sudah berkali-kali kalian diperintahkan untuk PTC (alias : Piece To Camera) oleh koordinator liputan. Liputan memang kering kalau tanpa PTC dari sang reporter, apalagi kalau dalam kasus-kasus tertentu dimana akan menjadi nilai plus jika si reporter nampak di layar. Plus buat beritanya, dan plus buat reporternya tentu saja.

PTC penting saat kita butuh menjelaskan sebuah kejadian tapi tak memiliki gambar yang bercerita, atau fakta-fakta yang ingin anda jelaskan secara lebih personal pada audience anda.

Kalau sudah menghayati nilai dari PTC, setiap Tim Liputan harusnya selalu melengkapi liputan dengan PTC. Masalah dipakai atau tidak, itu adalah pertimbangan belakangan. Biar bagaimanapun, liputan yangt lengkap butuh satu atau lebih PTC dari sang reporter. Tapi bagaimana kalau sedang apes dan kebagian VJ? Mmh.. apalagi kalau kemudian dapat kasus yang perlu PTC. Bagaimana dong?

Berikut adalah tips untuk melakukan. PTC bagi seorang Video Journalist dari Christina Fox. Menurut saya pengaturan ini menarik sekaligus mengingatkan kita pada pentingnya membuat sistem dan SOP. yap.. enough talking, ini tips SOP nya.

  1. Letakan kamera di Tripod (pastikan tripod stabil dan kokoh) kemudian atur lensa agar ada di eye level anda.
  2. Lakukan white balance
  3. Zoom out sejauh mungkin (buat se- wide mungkin), ini mudah dilakukan dengan kamera yang lensanya semi professional ( misalnya untuk kamera VX2000, PD150, PD170 dan XL1s). Kalau menggunakan kamera dan lensa yang lebih professional, sebaiknya lakukan eksperimen dengan angle pengambilan. Posisi lensa wide akan memastikan depth of field lebih luas, sehingga focus gambar tidak akan terlalu tipis, sehingga penonton dapat juga menyaksikan background yang dipilih.
  4. Pilih background yang akan muncul di belakang anda saat PTC. Atur framing nya.
  5. Tilt down sedikit kamera anda dari garis horizontal – ini untuk memperkecil headroom (ruang kosong diatas kepala ) dan menghindarkan anda dari kesan pendek, jika headroom anda terlalu lebaar.
  6. pindahkan pengaturan exposure dan level suara ke Automatic.
  7. Start recording. Pada beberapa kamera yang punya LCD yang bisa diputar 180 derajat, bisa digunakan sebagai Patokan. Putar LCD sehingga kita bisa melihat framing kita.
  8. Mundur dua langkah dari kamera (cek framing di LCD kalau ada) dan letakkan penanda di kaki anda. Pura-pura bicara (PTC) dari posisi itu agar ter rekam.
  9. Cek ulang hasil rekaman. Patikan framing sudah benar, kalau belum sesuaikan.
    Atur fokus pada penanda dan rapikan shooting frame anda. Jadi saat anda berdiri di posisi penanda itu hasil rekamannya akan fokus pada wajah anda.
  10. kunci lagi tripod dengan baik. (mudah-mudahan kunci tripod nya masih baik) kalau tripod nggak bisa dikunci, ganti aja pakai tangga atau meja hehehe.
  11. Start recording - lagi
  12. lakukan piece to camera anda yang sebenarnya.
  13. Setelah selesai, cek lagi… biarpun PTC anda sempurna, siapa tahu ada serombongan orang melambai-lambai di belakang anda saat melakukan PTC.

Memang terkesan panjang pengaturannya. Tapi kalau sudah terbiasa, sebenarnya simple aja kok. Saya juga pernah mencoba ini dan lumayan sukses. Jadi selamat mencoba ya…..
by the way, tahukah hal yang paling menyenangkan saat melakukan PTC sendiri? Tidak perlu bikin sign of panjang panjang!.

Gak usah bilang… Chris rey dan Manfrotto melaporkan,
atau nulis; Budi Afriyan/Vinten/ jakarta….
Cukup nama anda yang muncul. Keren kan?

TIPS PTC UNTUK CAMERA PERSON

Be creative, Be original.


Biarpun bukan sang Camera person yang PTC (kalau mau sih nggak apa...tapi harus tetap nyadar diri ya.. hahaha) tapi seperti semua hal di dunia televisi, PTC yang baik cuma bisa terlaksana apabila ada kerjasama yang baik juga antara campers dan reporter. kalau nggak bisa kerja sama, mati aja deh.. jangan kerja di TV.
Tugas sang camera person adalah memastikan gambar yang dihasilkannya berkualitas sebaik-baiknya dan dapat digunakan dalam berita yang dibuat. Berarti Campers juga bertanggungjawab menegur dan mengingatkan reporter bila ada tampilannya yang tidak pas atau aneh. Kalau reporter tampak aneh di layar, campers juga bertanggungjawab!

Jadi Campers jangan males, cari angle-angle yang keren untuk PTC. Ayo keliling dan bikin sekuen untuk melengkapi (insert) PTC kalau diperlukan. Biakin PTC yang gambarnya belum pernah dibuat, original dan akan selalu diingat orang yang menonton. dibawah ini ada beberapa Tips dan SOP buat campers soal PTC ini, mudah-mudahan berguna:


Camera Work:
Ide gaya PTC bebas, tergantung konteks cerita, tapi ada beberapa Camera work yang umum digunakan. Beberapa camera work yang sudah pernah saya gunakan dan terbukti bisa mengubah

  1. Camera steady, reporter steady. Reporter sudah ada di frame dan langsung PTC.
    Ini framing standar yang udah dipakai sejak jaman batu. kalau masih kayak gini framingnya, jangan ngaku udah jago deh.
  2. Camera Steady dan Reporter inframe (masuk ke dalam frame dari luar frame)
  3. Camera Paning dari pemandangan sekitar ke reporter yang steady. Biasanya digunakan bersamaan dengan Audio advance (suara si reporter masuk saat kamera masih panning dan belum kelihatan sosok si reporter itu).
  4. Camera Panning bergerak mengikuti reporter yang moving. Perhatikan bahwa gerakan Panning harus halus dan cukup lambat untuk diikuti mata. Panjang Panning jangan lebih dari 5 detik. pastikan ada "sesuatu" yg berharga dan layak masuk dalam frame dengan cara menggerakan camera. Kalau nggak ada, pakai steady aja.
  5. Camera zoom in. zoom in dan out jangan lebih dari 5 detik Biasanya dari gambar wide pemandangan atau lingkungan ke close up si Presenter. Gunanya menunjukkan presenter ada dimana saat ia melakukan PTC.
  6. Camera zoom out. Biasanya untuk PTC closing, untuk menunjukkan si presenter ada dimana.
    Saya sendiri lebih menyukai kamera yang steady, karena akan lebih nyaman bagi Audience jika gambarnya tidak bergerak. Zoom in/out dan Panning hanya dilakukan jika ada maksudnya dan tidak ada pilihan lain.

Angle Camera:
Standarnya adalah sejajar mata (eye level), kecuali memang ada maksudnya untuk merubah standar itu. Sebisa mungkin Tripod harus dipakai saat take PTC, kecuali pada situasi tertentu yang menyulitkan pemasangan/penggunaan tripod.

Framing:
Standarnya Reportase: Presenter tampak sebatas dua kancing teratas. Untuk feature atau soft news bisa lebih bervariasi.
Untuk reportase, tempatkan presenter di tengah layar.
Jika terpaksa Medium Shot atau Long Shot diharapkan tidak ada dua orang sejajar dalam satu framing PTC.


SOP CHECK LIST PTC untuk sang campers:
Warisan dari om Hidayat gautama nih….

1) Lokasi: pilih yg relatif noise nya rendah, lalu komparasikan dengan kekuatan vocal reporter kalian dilingkungan itu.
2) Background: sesuaikan dg konteks cerita.
3) Sumber cahaya: usahakan kualitas dan intensitas cahaya PTC tidak berbeda jauh dengan footage yg sebelumnya sudah kalian ambil (ini untuk menghindari jump-cut, dan retina mata kaget).
4) Cek teliti pakai earphones/ headphones kualitas vocal reporter (keras, sedang, rendah), cek teliti artikulasinya ( its a bloody important thing !).
5) Bandingkan/ komparasikan nattsound dan kualitas vocal reporter itu. Lalu pilih, mode manual atau automatic yg perlu kalian lakukan saat setup di audio selector input. Suara nattsound dan vocal reporter tidak boleh sejajar dilevel audio meter atau saling berkejaran. Vocal reporter harus 2-3 level diatas nattsound.
6) Wardobe, Rambut, Bahu (jika diambil sebatas dada doang): betulkan posisi yg tidak rapi, koreksi yg tidak simetris, awasi gerak gerik (gesture) reporter saat latihan membaca berita. Larang mereka melakukan gerakan yg engga natural saat PTC. Jangan kebanyakan senyum, secukupnya aja. pastikan nggak ada norma yang dilanggar dalam berpakaian atau dalam gerakan sang reporter..
7) Copot ID card kantor yg bergantung didada.
8) Batasi PTC hanya hingga 4 kali take, karena kebanyakan take menunjukan kalian hanya kelompok amatir dan bikin lama doang saat editing. Setiap take dibedakan speed readingnya, ada yg lambat banget dan ada yg agak cepat. Tiap berganti take, maka pergantian clip ditandai dg meletakan tangan kalian didepan lensa (on-record) spy mudah saat dicari di editing.
9) Perhatikan cara reporter memegang mic, jaga jaraknya 20 cm dari mulut, boleh lebih dekat jika memang noisenya tinggi.
10) Lakukan latihan dan perhatikan seksama gesturenya, bersikap kritis jika ada kalimat yg engga nyambung. Dengarkan dg teliti artikulasinya, betulkan jika ada salah.
11) Lihat baik-baik apa yg kalian lihat dalam View Finder. Kesalahan sering terjadi karena saat take, mata justru dilepas dari VF.


Good luck dan tetap tinggikan standar mu.


didit

TIPS PTC UNTUK REPORTER

Be Prepared, Be humble, Keep practicing.

Pernah nggak kamu ngerasa minder pas mau PTC? ragu-ragu atau takut keliatan jelek di layar? kalau pernah ya nggak apa apa. Ratusan reporter yang baik masih tetap tegang setiap kali mereka melakukan PTC, padahal mereka sudah sangat sering melakukan PTC.
Takut keliatan jelek itu bagus, karena akan membuat setiap reporter terus memperbaiki diri. Yang harus diwaspadai adalah takut keliatan tidak cantik atau tidak tampan... ukuran jelek atau tidak sebuah PTC bukan pada keberhasilan si reporter terlihat tampan atau cantik. Menurut saya ukuran bagus tidaknya adalah dari keberhasilan PTC itu memperkuat cerita dan citra sang reporter. Citra yang harusnya didapat bukan cantik atau ganteng, tapi kredibilitas si reporter.
dibawah ini ada beberapa Tips yang mudah-mudahan bisa berguna bagi para reporter yang berniat jadi jagoan PTC.

Reporter seharusnya menyiapkan diri sebelum setiap PTC. Persiapan yang dilakukan berkaitan dengan beberapa hal; isi kepala (riset dulu biar ngerti apa yang mau diomongin), cek wardrobe (biar nggak jumping... kalau mau liputan banjir, jangan pakai high heels. liputan wisata pantai jangan pakai baju item itu..), siapkan pendukung (narsum, lokasi, ide PTC diobrolin sama campers), siapkan badan (kalau perlu bersih-bersih, pakai tissue dulu, ilangin keringet... kalau perlu!)

Jangan sok Jaim!! tujuan reporter tampil adalah kredibilitas. kredibel nggak sama dengan cantik atau rapi, kredibel lebih dekat ke cerdas dan sesuai konteks. Makanya kalau PTC sesuaikan dengan konteks dan jangan bikin PTC standar. itu menunjukan kualitas sebagai reporter. (PTC standard = reporter.. standar). kalau disuruh PTC agak ekstrim, lakukan aja (tentunya dihitung juga bahayanya) karena keberanian akan meningkatkan kredibilitas juga. Jangan takut-takut bikin PTC megang uler, ngelus macan, ngangkat rajawali atau sambil bunjee jumping. Yang penting itung dulu resikonya... jangan Jaim ya...

Tampilan jangan berlebihan, sesuaikan dengan konteks berita dan sekelilingmu. Kalau sedang liputan banjir, sandal gunung terlihat cukup pantas, tapi kalau lagi di Istana, Jas oke aja kok. Jangan sok cuek pakai celana pendek ke liputan resmi atau sok jaim pakai baju rapi terus padahal liputannya kumuh. reporter harus bisa membaur dengan lingkungan dimanapun dia berada. tampilan juga termasuk wajah dan gaya, bukannya hanya busana. Kalau lagi liputan liburan, buat sesantai mungkin, kalau untuk musibah ya lebih serius lah..

Ingat durasi. Salah satu yang paling membatasi reporter dan camera person adalah durasi. Reporter harus sadar durasi, kalau akan ditayangkan di berita harian yang durasinya hanya 1 - 3 menit, jangan buat PTC sampai 1 menit, pasti tidak dipakai. Lain lagi ceritanya kalau PTC untuk program feature yang bisa ber durasi 15 menitan.

Reporter yang baik akan memiliki suara yang baik. Powernya harus cukup, sehingga dapat ditangkap sempurna oleh microphone, clarity nya juga menentukan. Terlalu sering menarik nafas atau mengeluarkan bunyi seperti; eeee…mmmhhh….lalluuuu…dannnn… serta sejenisnya mengurangi kepercayaan dari audience. makanya latian dulu sebelumnya... jangan sok pede tanpa latian.

Pronunciation sejelas mungkin ya. Kalau bisa logat-logatnya diilangin dulu deh. Bisa dilatih kok menghilangkan logat itu.

Speed that matter!. Bukan Cuma clarity dan pronunciation yang harus diperhatikan. Speed seringkali malah menjadi masalah dalam PTC. Kalau PTC disampaikan terlalu cepat, selain sulit dimengerti oleh audience, sang reporter/presenter akan berkesan panic atau gugup. Terburu-buru bicara agar segera selesai PTC nya. Sebaliknya kalau terlalu lambat akan membosankan dan terkesan bodoh. Kecepatan yang tepat akan sangat membantu membangun kredibilitas dan mencegah audience berpindah channel.

Bicara secukupnya. Jangan terlalu banyak bumbu, keliatan cerewet dan sok tau. Jangan juga terlalu langsung ke tujuan, nanti kayak orang galak dan nggak cerdas. Ajak audience untuk mengikuti alur ceritamu, bukan sekedar ngomong, tapi ajak pemirsa mendengarkan kamu.

Hanya tuhan yang sempurna. Jadi nggak perlu malu liat catatan, terlihat takut, sedih atau bingung kalau memang sesuai konteks berita. Dalam sebuah bencana alam, tampilan wartawan yang kusut, agak takut tapi tetap berusaha tenang bisa jadi lebih menyentuh daripada seorang reporter yang tampil sempurna.

Yang terakhir, Practice make perfect. Jangan sampai merasa sudah terlalu sempurna, selalu ada ruang untuk perbaikan. Jangan sombong ya…. terus berlatih...

didit

PTC ALIAS PIECE TO CAMERA :

bukan cuma tampang keren dan Jaim.


Wikipedia bilang: A piece to camera is when the presenter of a television show or a character in a film speaks directly to the viewing audience through the camera. Jadi kapanpun, dalam posisi apapun, saat seorang reporter, presenter atau bintang film berbicara secara langsung ke kamera (yang dianggap sebagai penonton) maka sebutannya adalah Piece To Camera.

Seringkali dalam dunia jurnalistik TV, Piece to Camera ini dianggap sama dan sebangun dengan istilah Stand Up yang sering digunakan oleh para broadcaster eropa untuk pelaporan langsung oleh si reporter. Saya sendiri lebih memilih istilah Piece to Camera, karena menurut saya, PTC tidak harus dilakukan dengan berdiri tegap dan resmi menghadap ke kamera. Menurut saya PTC bahkan tak harus dilakukan berdiri. Istilah Stand Up jadi terkesan membatasi nilai PTC, buat saya.

PTC ada beberapa macam, ada yang didepan (PTC opening), ditengah (PTC Bridging) dan dibelakang (PTC Closing). Masing-masing punya fungsi sendiri.

PTC Opening biasanya terletak di bagian depan cerita, sifatnya mengantarkan berita itu sekaligus membuat teaser agar audience terus ingin menonton berita yang diantarkan. Biasanya isinya adalah ringkasan dari inti keseluruhan berita, atau teaser yang mengambil kutipan paling menarik dari berita yang akan disajikan.

PTC bridging biasanya ditengah-tengah cerita. Fungsinya untuk menyambung antara dua bagian berita atau pergantian topic atau lokasi berita (misalnya dalam berita wrap up)
Bridging juga bisa diisi data-data menarik yang tidak ada gambarnya tapi penting. Data-data ini biasanya dipilih yang sekaligus menjadi teaser.

PTC closing adalah yang paling umum dilakukan. Letaknya diakhir berita dan Isinya biasanya pendapat, sindiran, kesimpulan atau pertanyaan tentang yang selanjutnya akan terjadi (what next).

Setelah tahu jenis-jenis PTC, reporter diharapkan bisa memilih PTC yang sesuai untuk memperkuat beritanya. Jenis PTC harus direncanakan sebelum dibuat dan harus dibuat terintegrasi dengan keseluruhan paket. Perhatikan waktu liputan dan sekuennya. Jangan sampai paket liputan dibuat siang hari, tapi PTC bridgingnya langitnya sudah gelap.

Kita sudah sama-sama tahu apa maksudnya PTC, tapi sebenarnya apa sih gunanya? Memang nggak semua berita pantas dan bisa pakai PTC, jadi kita harus tau juga apa aja fungsi PTC. Biar tahu kapan harus bikin dan kapan nggak perlu buat PTC. Saya pernah diajari tentang fungsi PTC oleh beberapa guru saya, diantaranya adalah:


  1. Menjelaskan sesuatu yang tak bisa digambarkan pada pemirsa. Misalnya menjelaskan situasi di tempat pembuangan sampah akhir, dalam PTC bisa disampaikan masalah bau dan kelembaban daerah itu (yang sulit ditampilkan dalam gambar). Atau bagaimana rasanya saat menjalani sebuah terapi, sakit kah? Atau malah nyaman?. Intinya adalah melengkapi sebuah peristiwa dengan informasi yang tidak bisa didapatkan gambarnya.
  2. Menunjukkan usaha yang telah dilakukan oleh tim liputan. PTC itu menunjukkan sejauh mana sang presenter berusaha memperoleh informasi bagi masyarakat dan kendala apa yang membuat mereka tak mendapat info itu. Misalnya PTC didepan gedung pengadilan tentang sidang sebuah kasus yang ternyata tertutup untuk pers.. atau PTC setelah sebuah proses wawancara doorstop, dimana sumber yang diwawancara dilindungi puluhan bodyguard dan tidak mau di stop; sang reporter bisa melakukan PTC segera setelah gagal mewawancara. Menunjukkan bahwa dia sudah berusaha keras tapi gagal mendapat komentar.
  3. Sebagai penyambung antar bagian. Biasanya ada saja sebuah cerita yang terdiri dari beberapa bagian terpisah, baik terpisah waktu (pagi dan malam), terpisah lokasi dan jarak, terpisah fokus bahasan dll. Dalam hal ini PTC dari reporter atau presenter akan menjadi penyambung (bridging) untuk membuat sebuah cerita utuh dalam konteksnya.
  4. PTC adalah tempat sang reporter atau presenter untuk menyampaikan pendapat pribadi atau konklusi thd sebuah berita. Dengan memunculkan diri reporter atau presenter dapat memberi penekanan bagi kesimpulannya. Selain memperkuat berita, PTC itu juga memperkuat image sang reporter atau presenter. Banyak orang yang beranggapan bahwa berita itu harus obyektif (berdasar fakta saja) dan tidak boleh berisi subyektifitas sang peliput. Kenyataannya setiap hari para praktisi menulis berita dari sudut pandang dan persepsinya masing-masing, dan karenanya berita selalu mengandung (sedikit atau banyak) subyektivitas. Saya sendiri setuju dengan Kovach dan Rosenstiel yang menggarisbawahi bahwa subyektifitas selalu terjadi, yang harus dilakukan seorang reporter adalah menguranginya sesedikit mungkin. Bukan hanya mengakui, Kovach dan Rosenstiel bahkan mencantumkan hak menyampaikan subyektivitas atau pendapat sang reporter dalam dasar-dasar jurnalistik menurut mereka[1]. Poin itu adalah: Its practitioners must be allowed to exercise their personal conscience . tentunya penyampaian pendapat itu dilakukan denganb bertanggunjawab. PTC adalah salah satu caranya
  5. PTC juga bisa digunakan untuk menambah daya tarik sebuah berita. Misalnya berita banjir akan lebih dramatis dan menarik bagi audience jika sang reporter PTC berendam didalamnya. Karena fungsi ini, maka PTC juga sering dijadikan arena unjuk gigi dan menambah kredibilitas (dibaca: popularitas) sang reporter atau Presenter.

Jadi intinya PTC adalah hak sang reporter untuk menaikan citra dirinya[2]. Tapi hati-hati, PTC yang bagus memang memberikan nilai tambah bagi sang reporter/ presenter, tapi PTC yang buruk juga bisa berakibat fatal bagi mereka. Seringkali bukannya tampak cerdas, PTC justru membuat reporter terlihat bodoh dan aneh. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencegah hal tersebut terjadi. Diantaranya ada dibawah ini:

Jangan cuma berdiri diam. Seringkali pemula atau bahkan reporter profesional melakukan PTC dengan standar stand up kuno. Berdiri tegak, kaku, senyum dipaksakan dan jaim abisss. Apa serunya kalau Cuma berdiri, kalau lebih dari 20 detik pasti ngebosenin banget. Bikin tampilanmu lebih seru dong. Lakukan sesuatu… lakukan kegiatan…Bikin PTC mu seru, nggak terduga dan bikin orang terus ingat… lebih bagus lagi lakukan PTC sebagai partisipan.

Riset Dulu. Kelihatan tampan atau cantik dan rapi bukan satu-satunya cara membentuk image. Lihat TV asing deh.. presenter seniornya kadang terlalu tua, reporter lapangannya tampangnya biasa banget, tapi mereka kelihatan credible dan pas dengan apa yang diomongin. Gimana caranya biar keliatan credible? Ya pastinya harus ngerti betul yang diomongin. Belajar dulu kek, Riset dulu kek.. mendingan berangkat liputan dengan perut kosong daripada kepala kosong. Jangan sampai PTC Cuma ngapalin kalimat pendek yang sekedarnya. Jangan ngomong sesuatu yang kamu nggak tahu apa-apa. Jangan sampai PTC malah keliatan bodo…

Jangan salah kostum. Cari tahu dulu sebelum liputan, apa jenis liputannya. Kalau nggak tahu sebaiknya pakai pakaian yang netral. Jaim bukan dengan selalu tampil rapi bersih dan wangi (eh wangi nggak muncul deng di layar TV..). yang lebih tepat adalah menyesuaikan diri dengan konteks dan situasi. Salah satu yang paling penting adalah pakaian. Kalau dalam sebuah berita tentang peresmian sebuah pusat kebugaran baru, tentunya tampang keringetan habis olahraga dengan sepatu kets dan training suit lebih cocok daripada high heels dan gaun.

Jangan sok tahu dan berusaha kerja sendiri. Seperti semua hal di televisi, PTC pun harus dilakukan dengan kerjasama yang baik. Biarpun sang reporter cantik, pintar dan sangat menguasai masalah, tetap aja dia bisa keliatan bodoh kalau tidak ada kerjasama dengan campers nya. Misalnya sang reporter udah pasang senyum manis dan gaya sejuta, tapi sang campers malah pakai gaya panning dulu ke arah lain. Atau sang reporter cerita tentang pemandangan indah di sekelilingnya, tapi sang campers malah bikin framing ekstra close up dengan background blurr. Nasehatnya: jadi reporter jangan pintar sendiri. Ngobrol dong ngobrol.. kasih tahu rencanamu pada sang campers dan ngobrol gimana mencapai impact terbaik. Kalau semua bagus, yang untung kan reporter juga…


Udah deh…
Good luck selamat nyoba PTC.

didit





[1] Baca: The Elements of Journalism Revised by Bill Kovach & Tom Rosensteil , 2001
[2] Seorang jurnalis transtv, Ardina yunita kartika, (yang sekarang produser di trans7) melukiskan PTC sebagai berikut: “PTC memang jadi ciri di stasiun TV tempat saya bekerja dulu, TRANSTV.. setiap anak baru wajib PTC di setiap liputan..mau liputan apa aja harus ada PTC-nya,meskipun belum tentu juga ditayangkan..tapi memang alasannya jelas..dengan PTC, tiap reporter akan dibiasakan dengan kamera,jadi kalo ada peristiwa besar yang mengharuskan siaran langsung, tiap reporter tidak kaget lagi.. PTC juga akan menjadi ajang para bos untuk melihat siapa saja yang bisa menjadi pembaca berita atau presenter..dan buat para reporter..semakin sering nongol di TV berarti juga promosi gratis.. kalau bagus, tentunya banyak stasiun TV lain yang tertarik membajaknya..”