Saturday, October 18, 2008

BELAJAR JADI JURNALIS

TERIMA AMPLOP?!

Beberapa hari terakhir saya dikejutkan dengan datangnya beberapa teman reporter junior yang menyerahkan amplop. Ya, amplop berisi uang. Para jurnalis muda itu terpaksa menerima amplop saat melakukan liputan. Mereka merasa rikuh menolak pemberian dari narasumber yang begitu baik pada mereka. Huh… itu jadi masalah. Karena mereka melapor ke saya, maka saya yang akan ketiban pulung dan harus ikut bertanggungjawab.

Untuk pekerjaan lain mungkin amplop tidak lebih penting dari map atau kantong kertas, tapi bagi seorang jurnalis, amplop menjadi simbol dari sesuatu yang harus dihindari.
Maksudnya memang bukan amplopnya tapi isinya.

Menerima amplop memang sangat personal. Hanya 50 persen jurnalis penerima amplop bisa dibuktikan (kalau ketahuan sih sudah pasti). Sekali lagi keputusan menerima atau menolak amplop memang sangat personal, sangat tergantung pada moral dan kondisi sang jurnalis. Saya termasuk aliran yang berusaha menghindari Amplop..
Amplop sebaiknya ditolak oleh jurnalis serius yang benar-benar ingin menjadi pewarta sejati. Alasannya menurut saya adalah dibawah ini:

1. Menghilangkan ciri seorang jurnalis.
Terima amplop berarti menghilangkan independency sang jurnalis. Bagaimanapun, pasti akan ada perasaan tidak enak atau sungkan untuk menghajar satu narsum, kalau kita menerima uang darinya. Uang juga bisa membuat jurnalis kehilangan sikap ketidak perpihakan yang seharusnya selalu dimiliki seorang jurnalis. Apalagi kalau menerima secara rutin, dan karenanya secara tidak sadar mulai mengharapkan sang amplop itu.

2. Menerima amplop berarti menghargai diri anda.
Saya tidak salah tulis, … yang saya maksud memang benar seperti yang tertulis di atas. Maksud saya adalah; begitu anda menerima amplop dari seorang sumber atau pihak yang diliput, sama saja anda memberi harga pada diri dan profesionalitas anda. Kalau hari ini anda menerima amplop yang isinya 500 ribu, maka besok sang pemberi sudah melabeli anda dengan harga. “Oh… kalau jurnalis anu dari TV itu cukup kasih 500 ribu sudah aman. Kalau si fulan dari TV ini harus 1 juta baru terima.” Itu harga anda. Murah? Bayangkan kalau anda mengambil amplop yang isinya hanya 50 ribu. Sedih kan?
Jurnalis harusnya priceless, dan apapun bendanya begitu ada harganya maka pasti bisa dibeli. Jangan mau jadi jurnalis yang bisa dibeli.

3. Menerima amplop sama saja korupsi.
Dengan menerima amplop sama saja memasyarakatkan budaya suap dan korupsi. Selain munafik (karena wartawan seharusnya punya fungsi untuk mengawasi proses pemerintahan - fungsi anjing penjaga), menerima uang juga memudahkan wartawan untuk diancam oleh pemberi uang.

Kalau bagi jurnalisme menerima amplop berarti begitu buruk, kenapa selalu saja ada jurnalis yang mengambil amplop (berisi uang) yang disodorkan? Menurut pengetahuan saya ada beberapa hal yang sering dijadikan alasan, misalnya:


Ø Nggak enak pada teman-teman dari TV lain.
Ø Takut dimusuhin kalau nggak nerima.
Ø Nggak enak pada narasumber
Ø Terlalu ribet dan sibuk untuk menolak saat itu
Ø bingung cara menolaknya.
Ø diambil oleh teman liputan.


Ini adalah sebagian alasan yang sering terdengar. Saya sendiri mengharapkan jurnalis, terutama yang baru, mau disiplin dengan menolak segala macam bentuk pemberian atau suap atau hadiah. Sekali menerima maka akan memudahkan tindakan menerima selanjutnya. itu akan merusak perkembangan selanjutnya dari sang jurnalis muda. Sebenarnya kalau memang mau fair, jika sudah memilih profesi sebagai jurnalis seharusnya juga menerima resikonya. Jangan Cuma mau status dan gajinya saja…
Jadi bagaimana caranya menolak amplop, atau menyelesaikannya tanpa masalah kalau terlanjur diterima? Dibawah ini saya list beberapa ide yang mungkin bisa berguna.

Menghindar.
Pemberian amplop biasanya bisa diprediksi. Selalu ada orang-orang yang bertugas mendata dan membagikan amplop itu (biasanya humas atau coordinator dari jurnalis senior). Mengetahui siapa mereka tidak susah kok kalau mau mengamati. Cara terbaik adalah menghindar dari mereka. Usahakan menolak kalau diajak pergi ke tempat sepi (biasanya menjelang acara yang diliput berakhir). Kalau mereka nggak bisa menemukan kita, kita nggak perlu menolak amplop yang mereka siapkan.

Tolak dengan halus
Jelaskan baik-baik pada narasumber bahwa jurnalis tidak boleh menerima uang (kecuali dari kantornya ya). Jelaskan juga bahwa kita menolak uang juga demi kehormatan bersama. Kita akan lebih menghormati narasumber dan berharap dia juga lebih menghormati kita. Katakan saja bahwa jurnalis lebih senang kalau dibantu dalam pekerjaan berupa perijinan atau fasilitas, daripada diberi uang. Lakukan penolakan secara personal agar tidak mempermalukan sang narsum juga.

Tolak dengan keras
Cara ini baru diambil kalau narsum (atau ada teman-teman dari media lain) cenderung memaksa. Katakan pada mereka bahwa menawarkan uang berarti menghina profesi seorang jurnalis. Kalau mereka menawarkan uang, berarti mereka tidak menghargai kita. Kembalikan langsung di tempat, kalau dilakukan dengan sopan tapi cukup keras, mungkin malah menimbulkan respect dan bukan kemarahan.

Terima dan serahkan ke kantor.
Kadang-kadang kita kekurangan waktu atau terlalu repot untuk menolak. Sering juga Amplop diselipkan ke lembaran informasi yang kita terima dan lupa di cek. Kalau itu terjadi, keputusan yang paling aman adalah membawa amplop itu pulang dan menyerahkannya kepada pihak kantor untuk dikembalikan atau di selesaikan sesuai peraturan yang berarti.

Terima dan bawa pulang
Kalau memutuskan untuk membawa pulang uang itu, ingat bahwa keputusan itu diambil secara pribadi. Resikonya harus juga ditanggung sendiri. Jangan memamerkan, memberitahu atau membagi pada rekan kerja karena kalau diusut, bahkan menerima tanpa tahu bahwa itu adalah uang hasil amplop, tetap beresiko besar menerima hukuman standar; dipecat! Kalau berani bertindak, beranilah bertanggungjawab.

saran saya tetap saja; kalau berani atau mau mengambil amplop dari narsum, mendingan berhenti sekalian dari jalur jurnalisme. Memang tetap saja keputusan mengambil atau menolak tergantung pada pribadi masing-masing jurnalis. kalau saya menolak amplop, seorang rekan saya yang juga jurnalis, menyarankan untuk mengambil saja amplop itu, tapi dengan syarat jumlahnya minimal 5 miliar rupiah....

Wednesday, October 15, 2008

SCRIPT WRITING HARD NEWS 1


AYO BELAJAR NGEDIT NASKAH HARD NEWS


Beberapa teman sempat meminta saya mengajarkan cara menulis naskah. Mereka mengaku kesulitan saat berusaha menulis naskah untuk media broadcast, dan ingin tahu bagaimana ciri-ciri naskah yang baik itu. Walaupun keahlian menulis saya biasa saja, saya jadi tertarik untuk mencoba menjelaskan.

Daripada ngajarin cara menulis naskah (yang saya yakin kalian udah lebih jago), saya akan mengajak teman-teman belajar meng edit naskah[1]. Menurut saya yang pemalas, kalau reporter sudah bisa ngedit naskahnya sendiri pasti produser juga lebih nyaman. Produser bisa lebih konsentrasi pada content dan show daripada pusing mengurusi teknis menulis.

Makanya sekarang saya mau mengajak semua reporter untuk belajar mengedit sendiri naskahnya. Yuuuk….

Pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan penulis berita ‘baru’ adalah:
Bagaimana sih nulis berita yang lengkap?
Apa aja yang ditanyain?
Data apa aja sih yang penting?
Apa sih ciri-ciri naskah yang baik?
Bagaimana sih membuat naskah jadi lebih bagus?
Kita akan bahas satu persatu pertanyaan itu.
Ah… tapi karena saya malas, saya bahas secara keroyokan aja deh.

Pertanyaan satu dua dan tiga sebenarnya bisa dijelaskan jawabannya dengan satu kalimat klise. Kalimat yang diajarkan pada setiap kuliah jurnalistik dari tingkat dasar. Jawabannya adalah 5 W + 1 H. Berita akan lengkap kalau informasi 5 W + 1 H[2] dari kejadian atau peristiwa itu sudah ada dalam berita. Karena berbicara pada teman-teman yang sudah mumpuni dalam mencari berita saya rasa tidak perlu lagi menjelaskan secara mendalam tentang patokan dasar jurnalistik itu.

Pertanyaan keempat dan kelima bisa dirangkum jawabannya dengan 3 S : Simple (Sederhana), Short (Singkat), Sharp ( Tajam). Tiga hal itu adalah patokan sederhana untuk mengedit naskah, terutama naskah Hard News.

Jadi secara sederhana, untuk memperbaiki tulisan anda ada 2 patokan besar yang harus dimengerti, yaitu : 5 W+1 H dan 3 S


5 W + 1 H

Ini patokan dasar kuno yang udah diketahui semua orang yang mau, mendapat pendidikan, maupun sudah menjadi jurnalis. Kayaknya nggak perlu lagi deh dijelaskan ya… setuju?


3 S (Simple, Short, Sharp)

Ini patokan penyederhanaan versi saya. Hampir 6 tahun kuliah jurnalistik, komunikasi, dan ditambah pelatihan disana-sini (termasuk di BDP trans TV ini) saya dicekoki banyak sekali teori yang bagus dan signifikan tentang penulisan naskah. Kalau semua diajarkan kayaknya malah bikin pusing dan repot, jadi saya ringkas aja menjadi 3 unsur diatas.

Penjelasannya gimana?
Liat aja dibawah.
----------------------------------------------------------------------------------------
Simple aja dong:

Nulis berita (hard news) harus sederhana, secukupnya, tapi tetap tajam. Kenapa harus sederhana? Media broadcast adalah media selintas, yang berarti audience hanya mendengar atau menonton suatu informasi sekilas alias selintas saja. Supaya dapat dimengerti semaksimal mungkin maka naskah (yang akan dibaca sebagai narasi) harus dibuat sesederhana mungkin. Semakin mudah dimengerti berarti naskah semakin baik. Sebisa mungkin tulis naskah dengan alur cerita linear (untuk Hardnews), hindari flashback atau bolak balik. Usahakan menyampaikan informasi dengan kalimat yang sederhana, Jangan gunakan istilah teknis yang rumit, atau terlalu spesifik. Intinya, pakai bahasa yang gampang aja…

Contoh 1:
Jangan nulis:

KAPOLRI/ JENDRAL POLISI BAMBANG HENDARSO/ MENGANGKAT KAPOLDA JABAR/ IRJEN SUSNO DUADJI SEBAGAI KABARESKRIM POLRI//

Kabareskrim mungkin diketahui artinya oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia pers dan kepolisian (kriminal) tapi bagi orang awam mungkin membingungkan. Ingat bahwa kita menulis untuk penonton umum, bukan satu golongan khusus.


Tulislah :

KAPOLRI/ JENDRAL POLISI BAMBANG HENDARSO/ MENGANGKAT INSPEKTUR JENDRAL SUSNO DUADJI SEBAGAI KEPALA BADAN RESERSE KRIMINAL POLRI// SEBELUMNYA IRJEN SUSNO ADALAH KAPOLDA JAWA BARAT//

Contoh 2:
Jangan Menulis :

POHON NYAMPLUNG MEMANG POTENSIAL KARENA BISA MENGHASILKAN BIOFUEL// MELALUI BIODIESEL PROCESSING YANG CUKUP SEDERHANA/ BISA DIHASILKAN BAHAN BAKAR DENGAN JUMLAH YANG SIGNIFIKAN// NYAMPLUNG SAAT INI MENJADI TANAMAN KONSERVASI YANG BISA DITANAM DISELURUH INDONESIA//

Rumit ya? Coba jelaskan lebih sederhana. jangan sok rumit deh...

Tulislah :

POHON NYAMPLUNG PUNYA POTENSI DIOLAH MENJADI BAHAN BAKAR ALAMIAH// HANYA DENGAN PROSES SEDERHANA/ BISA DIHASILKAN BAHAN BAKAR YANG CUKUP BANYAK/ APALAGI NYAMPLUNG BISA DITANAM DI SELURUH DAERAH DI INDONESIA//

Pastikan aja bahwa pendengar mengerti apa yang anda maksud. Nggak usah sok gaya dengan istilah asing. Istilah-istilah ilmiah yang nggak umum Cuma gagah kalo ditulis di dalam skripsi.
------------------------------------------------------------------------------------
Short aja lah:

Di media broadcast, selain deadline, batasan yang harus dipertimbangkan oleh reporter / script writer adalah durasi. Semakin panjang durasi yang digunakan semakin mahal dan tidak efektif naskah itu. Semakin cepat audience mengerti berita yang sedang disampaikan semakin baik. Dengan ukuran seperti itu, tentunya berarti semakin pendek durasi sebuah naskah dalam menyampaikan suatu informasi, semakin baik naskah itu. Kalimat-kalimat aktif yang pendek dan to the point memudahkan dubber/narator membacakan naskah sesuai dengan jenis beritanya, yang pada akhirnya memudahkan pemirsa mengerti apa yang dibacakan.

Contoh 1 :
Jangan menulis :

MENURUT KETERANGAN SAKSI MATA/ KEJADIAN BERAWAL SAAT KORBAN BERUPAYA MENYEBERANG REL KERETA API/ TIBA-TIBA MELINTAS KERETA API EKONOMI BERNOMER ME 375 DARI ARAH JAKARTA MENUJU TANGERANG/ DAN LANGSUNG MENABRAK KORBAN// JASAD KORBAN DITEMUKAN SAKSI DALAM KONDISI MENGENASKAN// SEJUMLAH ANGGOTA TUBUH SUDAH TIDAK UTUH LAGI//

Reporter yang baik bisa mengumpulkan seluruh informasi penting yang ada, reporter yang lebih baik bisa menyortir sedikit informasi yang dibutuhkan dari tumpukan informasi penting yang ada. Jangan masukkan informasi tidak penting dalam narasi. Pakai hanya info yang terpenting, biarkan koran dan majalah menyampaikan detailnya.

Tulislah :

SAKSI MATA MENUTURKAN/ KORBAN SEDANG MENYEBERANGI REL/ KETIKA TIBA-TIBA MUNCUL KERETA API DARI ARAH JAKARTA MENABRAKNYA// JASAD KORBAN DITEMUKAN DALAM KONDISI TIDAK UTUH LAGI//

Lebih singkat. Kalau dibacakan akan lebih nyaman bagi sang narator/dubber.

Contoh 2:
Jangan menulis :

WALAU HARI RAYA IDUL FITRI TELAH BERLALU/ NAMUN HINGGA KINI SUASANA LEBARAN MASIH TERASA DI BEBERAPA TEMPAT DI JAWA TIMUR/ SEPERTI DI DESA SEKAR KURUNG/ KECAMATAN KEBO MAS/ GRESIK/ DIMANA RABU PAGI/ MASYARAKATNYA MENGGELAR TRADISI LEBARAN KETUPAT//

Kalau seperti ini jangan-jangan sang dubber bisa meninggal kehabisan nafas saat membacanya. Hindari kalimat bertingkat (dengan anak kalimat) seperti di atas, karena akan memperlambat pengertian audience. Potong-potong kalimat bertingkat itu manjadi beberapa kalimat singkat.

Tulislah :

IDUL FITRI TELAH BERLALU/ TAPI DI BEBERAPA TEMPAT SUASANANYA MASIH TERASA// MISALNYA DI DESA SEKAR KURUNG/ GRESIK// RABU PAGI/ WARGA DESA INI BARU MERAYAKAN TRADISI LEBARAN KETUPAT//

Coba baca dan rasakan. Lebih mudah’kan? Lebih sederhana juga bagi pendengarnya.

------------------------------------------------------------------------------------

Sharp dong:


Untuk memperoleh 2 hal itu (kemudahan dimengerti, dan durasi yang sesingkat-singkatnya) ketajaman penulisan akan sangat berguna. Tajam berarti to the point dan tidak berputar-putar. Pakai kata se efisien mungkin. Jangan mengulangi fakta atau data yang tak perlu (hindari redundancy), dan jangan memakai kata-kata bersayap atau memiliki arti ganda (ambiguitas). Hindari kata-kata klise yang tujuannya memperlembut arti saja.

Contoh 1:
Jangan menulis:

DASAR SEDANG SIAL/ 2 PENCURI ITU AKHIRNYA DITANGKAP BASAH DI TKP// PARA WARGA YANG MARAH MEMUTUSKAN MAIN HAKIM SENDIRI// SEGERA SAJA TERSANGKA BABAK BELUR DIHAJAR MASA// BERUNTUNG POLISI SEGERA DATANG DAN MENGAMANKAN MEREKA KE MARKAS//

Coba liat, ada tulisan dasar sial: seolah-olah kita ada di pihak si pencuri. Ada tulisan TKP, yang ini istilah khas polisi. Jangan keseringan dipakai, ah…Para warga? Para menunjukan beberapa sedangkan warga sudah berbentuk jamak. Para warga jadi berlebihan (redundancy). Pakai aja para penduduk atau warga saja.. ada pengulangan lain disana: kalimat ketiga dan keempat bisa disingkat karena secara garis besar artinya mirip.
Kalau tadi ada kata-kata dasar sial, kali ini ada ; beruntung! Sekali lagi kita memihak para tersangka itu. polisi datang dan mengamankan? menangkap lebih tajam dan langsung artinya. Perhatikan juga kata-kata terakhir; markas. Dalam kalimat terakhir menjadi tidak jelas (ambigu) apakah mereka dibawa ke markas polisi atau markas para pencuri?

Tulislah :

DUA ORANG TERSANGKA PENCURI ITU AKHIRNYA TERTANGKAP DI LOKASI KEJADIAN// WARGA YANG MARAH MEMUKULI KEDUA TERSANGKA SAMPAI BABAK BELUR// POLISI MENANGKAP PARA TERSANGKA UNTUK DIBAWA KE POLSEK JATINEGARA UNTUK PEMERIKSAAN SELANJUTNYA//

Selain patokan penulisan diatas, ada juga patokan penulisan yang tujuannya adalah mempermudah pembacaan narasi/ lead in untuk presenter. Dalam setiap penulisan istilah atau bahasa daerah atau sesuatu yang tidak dimengerti budaya lain, harus ditambahkan kelengkapan berupa: :
ejaan penulisan (penting buat CG atau bahasa asing)
pronunciation (penting disertakan terutama untuk bahasa daerah dan bahasa asing)

---------------------------------------------------------------------
Contoh Editing naskah:


Berikut adalah salah satu naskah yang diserahkan pada saya untuk di edit. Supaya lebih lejas mungkin bisa saya sertakan break down editing yang saya lakukan pada naskah ini. :
Langkah pertama saya baca dulu seluruhnya supaya tahu kira-kira tulisan ini tentang apa. Setelah itu baru pelan-pelan di perbaiki berdasar azas 3 S yang sudah saya ceritakan diatas.

Naskah asli :

SLUG :
KORBAN YANG DI ANIAY PAMANNYA MASIH DALAM KEADAAN TRAUMA BERAT

LOKASI : TAPANULI
HARI/TGL : SABTU/11/10/2008
REP/CAM : ABDI


(LEAD IN)

AROJIDUHU NDRUHU/ ANAK YANG DITEMUKAN DALAM KEADAAN KAKI DIRANTAI YANG DIPAKU KEDINDING RUMAH /AKIBAT DARI ULAH SANG PAMAN/YANG MENUDUH SI KORBAN MENCURI MAKANAN DARI RUMAH TETANGGA/HINGGA SAAT INI/MASIH DALAM KEADAAN TARAUMA/BILA MELIHAT ORANG YANG DATANG//


(PKG ROLL)

AROJIDUHU NDRUHU/KORBAN PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH PAMANNYA TUJUH BULAN YANG LALU/ HINGGA KINI MASIH BERADA DI POLSEK PINANG SORI// KORBAN YANG DIANIAYAH PAMANNYA/DALAM KEADAAN KAKI DIRANTAI/DIPUKULI SERTA TANGAN DIMARTIL/HINGGA HINGGA KASUSU INI TERKUAK//

SETELAH BERJALAN SELAMA TUJUH BULAN/ AROJIDUHU NDRUHU YANG TINGGAL BERSAMA KEPOLISIAN POLSEK PINANG SORI/DITEMUKAN DALAM KEADAAN TARAUMA//BILA MELIAHAT SIAPA SAJA YANG DATANG UNTUK MELAPOR KEPOLSEK TERSEBUT/ AROJIDUHU NDRUHU/BERLARI SEPERTI DIKEJAR BAYANGAN DAN BERSEMBUNYI DIBELAKANG KANTOR POLSEK//

BILA DIAJAK UNTUK BERKOMUNIKASI/ AROJIDUHU NDRUHU AKAN MENANGIS BERTERIAK/SEPERTI DIKEJAR-KEJAR BAYANGAN//

ANAK KORBAN PENGANIAYAAN INI/SUDAH PERNAH DIBAWA KEDINAS SOSIAL/NAMUN DINAS SOSIAL KEMBALI MENGANTARKAN AROJIDUHU NDRUHU KEPOLSEK/KARENA TIDAK MAMPU UNTUK MENDIDIK ANAK TERSEBUT//AKIBAT ANAK TERSEBUT MERASA KANTOR KAPOLSEK SUDAH DIANGGAP SEBAGAI RUMAH SENDIRI//

(SB) : AROJIDUHU NDRUHU/KORBAN PENGANIAYAAN//

DENGAN RELA HATI/TERPAKSA KEPOLISIAN POLSEK PINANG SORI/MERAWAT DAN MENDIDIK ANAK TERSEBUT/HINGGA BERJALAN SELAMA TUJUH BULAN/DENGAN BIAYA KEPERLUAN UNTUKNYA DIBERIKAN SECARA BERGILIRAN SETIAP ANGGOTA KEPOLISIAN YANG BERTUGAS//

(SB) : AKP A. FAUZI/POLSEK PINANG SORI//

SELAMA TUJUH BULAN DIRAWAT DAN DIDIK/KEPOLSIAN MENGALAMI KENDALA KARENA KEPOLSIAN TIDAK DAPAT MERUBAH RASA KETAKUTANNYA TERHADAP SIAPA SAJA YANG DATANG KEPOLSEK TERSEBUT//

KEPOLISIAN POLSEK PINANG SORI/MENCOBA MENYURATI DINAS SOSIAL PERLINDUNGAN ANAK/AGAR ANAK TERSEBUT/MENDAPATKAN DIDIKAN/HINGGA SAMPAI SAAT INI/SEPULUH SURAT YANG DILAYANGKAN BELUM ADA TANGGAPAN// KAPOLSEK PINANG SORI BERHARAP AGAR PIHAK DIDINAS SOSIAL AGAR MEMBAWA ANAK ITU KEMBALI KETEMPAT YANG SEMESTINYA UNTUK MENDAPATKAN DIDIKAN DAN PERAWATAN//

ABDI SOMAD/TRANSTV TAPANULI TENGAH/SUMATERA UTARA//

untuk urusan 5 w + 1 h, naskah ini ada beberapa hal yang tidak lengkap :
umurnya si anak itu berapa?
panggilannya siapa? nama panggilan mendekatkan korban dengan pemirsa, memperkuat karakterisasi sehingga bisa bikin story lebih akrab dengan pemirsa.
siapa nama keluarga / paman yang menyiksanya?
dia masih punya keluarga nggak?
soundbite dinas sosial yang mengembalikan anak itu?
bagaimana makannya, mandinya dan kehidupan sehari-hari? ceritakan biar personalisasinya lebih oke..

Naskah hasil editing :

(LEAD IN)

AKIBAT DITUDUH MENCURI MAKANAN/ SEORANG ANAK KAKINYA DIRANTAI KE DINDING OLEH PAMANNYA// AKIBAT PERLAKUAN ITU/ SANG ANAK MENGALAMI TRAUMA SETIAP MELIHAT ORANG LAIN//


(PKG ROLL)

NAMA ANAK INI AROJIDUHU NDRUHU// TUJUH BULAN LALU IA MENJADI KORBAN PENGANIAYAAN OLEH PAMANNYA// KARENA DITUDUH MENCURI/ AJI/ DIRANTAI KAKINYA KE TEMBOK OLE PAMANNYA// IA JUGA SEMPAT MENGALAMI BERBAGAI PENYIKSAAN/ BAHKAN SEMPAT DI MARTIL TANGANNYA//

SEJAK KASUS ITU TERUNGKAP/ AJI TINGGAL DI POLSEK PINANG SORI/ TAPANULI TENGAH// IA MENGALAMI TRAUMA BERAT DAN SELALU BERSEMBUNYI JIKA MELIHAT ORANG DATANG// (disini cerita tentang keluarganya, ada nggak yang mau mengambil dia? ada nggak yang brtanggung jawab?)

AJI SEBENARNYA PERNAH DIBAWA KE DINAS SOSIAL UNTUK MENJALANI PERAWATAN TRAUMA/ NAMUN KEMUDIAN DIKEMBALIKAN LAGI// ( kalau dinas sosial nggak mamupu harusnya ada soundbitenya…)

(SB) AROJIDUHU NDRUHU/ KORBAN PENGANIAYAAN//
(kasih garis besar isi soundbitenya, biar editingnya nyaman)

ANAK INI TELAH TINGGAL DI KANTOR POLSEK INI SELAMA TUJUH BULAN// TAK HERAN/ KINI POLSEK PINANG SORI SUDAH DIANGGAP AJI SEBAGAI RUMAHNYA SENDIRI//

(SB) : AKP A. FAUZI/POLSEK PINANG SORI//
(kasih garis besar isi soundbitenya, biar editingnya nyaman)

KAPOLSEK PINANG SORI SEBENARNYA TELAH MENCOBA MENYURATI DINAS SOSIAL PERLINDUNGAN ANAK AGAR AJI MENDAPAT PENANGANAN YANG LEBIH BAIK// SUDAH SEPULUH SURAT YANG DILAYANGKAN/ NAMUN BELUM JUGA ADA TANGGAPAN//


ABDI /TAPANULI /SUMATERA UTARA//

oke deh... segitu aja contohnya. coba deh dibedain ya...



catatan kaki:

[1] Waktu SD saya sangat lemah di mata pelajaran IPA. Karena kesal melihat saya yang malas latihan mengerjakan soal, orang tua saya menyuruh saya belajar membuat soal. Menurut mereka, latihan membuat soal lebih berguna daripada sekedar latihan mengerjakan soal. Saat saya berusaha membuat soal, saya otomatis juga harus mengerti caramengerjakan dan mengetahui jawabannya juga. Sampai sekarang saya selalu belajar dengan metode itu. Makanya menurut saya, kalau orang udah bisa ngedit naskah, pasti naskahnya akan jadi bagus juga.

[2] . 5 W + 1 H adalah singkatan dari unsur-unsur dasar dari informasi yang dibutuhkan untuk membuat berita yang lengkap. Who (siapa yang terlibat) , What (apa yang terjadi), Where (dimana lokasinya), When (kapan terjadinya), Why (alasan terjadi) dan tentunya How (kronologis atau modus kejadian).

Wednesday, September 24, 2008

LIPUTAN YUK

Ada perubahan dalam sistem liputan saat ini. Nyaris semua reporter dan kamera person berfungsi seperti mesin, datang dan pulang pada jam yang sudah ditentukan. Datang pagi, liat proyeksi, jalan liputan, pulang, nulis naskah, rapat lalu pulang. Jarang sekali ada jurnalis muda yang mengusulkan liputan jadi dan membuat sendiri rancangan liputannya. Mereka lebih mirip tentara yang siap menerima perintah daripada seniman yang bangga pada karya-karyanya.

Dalam tulisan berikut, saya ingin menyampaikan beberapa check list yang mungkin berguna untuk reporter atau VJ yang mencoba menyempurnakan liputannya.

1. jangan berangkat dengan kepala kosong. Riset lah sebelum berangkat. usahakan agar sang reporter jangan sekedar menjadi mike stand (cuma megangin mike doang). Riset latar belakang masalah dan narasumber yang bisa dikontak. kalau serius, you'll be amazed what you could found in internet. Supaya tidak terlalu banyak meriset, sebaiknya sang reporter harus slalu update. Baca koran, majalah, internet, dengera radio (jangan lagunya aja). Be a news freek!!

2. walau harus mengisi kepala, tetap saja better empty head than empty stomach hehehe.... gak makan nanti lemes, informasi lupa semua dah. makanya makan dulu sebelum liputan. Makan lah saat bisa makan, sebab pekerjaan ini (jurnalistik) selalu bermusuhan dengan waktu. Segera makan begitu ada waktu luang dan bisa, makan sebaik-baiknya, sebab jangan-jangan itu adalah kesempatan terakhir untuk makan di hari itu...

3. Scedulling is everything. Jurnalis yang baik adalah jurnalis yang efektif dan efisien. rencanakan liputan sedetail mungkin, pakai target waktu kalau perlu. Rencanakan mulai dari pengambilan gambar, lama membuat PTC, wawancara, waktu mencari narasumber, waktu perjalanan (jarak antar TKP), dan ekstra waktu sebelum deadline. Usahakan liputan dilaksanakan sesuai dengan schedulle tersebut.

4. Bawa catatan. Banyak reporter yang mengandalkan rekaman pada kamera untuk mencari soundbite kemudian, ini bukan hanya memperlambat, tapi juga menyusahkan sang reporter membuat naskah di luar kantor (misalnya: diminta mendiktekan naskah, membuat naskah di mobil dst). Biasakan mencatat data dan soundbite yang diinginkan, termasuk time codenya di kaset. itu akan memudahkan pencarian dan pemilihan soundbite saat editing.

5. Jaga kontak dengan kantor. Laporkan kalau kamu berniat bergeser atau menemukan berita yang menurut kamu menarik, supaya tidak ada tim ganda di satu lokasi dan kamu tidak dianggap menyeleweng dari tugas. Misalnya lagi jaga DPR terus sepi mau geser ke balaikota, jangan lupa telp korlip, takutnya di balaikota udah ada orang atau kalau kemudian ada apa-apa terjadi di DPR, kamu tidak disalahkan karena gesernya sudah seijin korlip.

6. Ngobrol dong.. Rencanakan liputanmu bersama sang kamera person. Ngobrol ! tentukan jenis liputan sesegera mungkin, kalau ada ide segera informasikan. Intinya adalah komunikasi antara reporter dan camera person harus terus terjadi.


udah ah... ayo liputan.

Monday, September 8, 2008

TIPS PTC BUAT SOLO JOURNALIST ATAU VJ.

Show your real skill


Pasti sudah berkali-kali kalian diperintahkan untuk PTC (alias : Piece To Camera) oleh koordinator liputan. Liputan memang kering kalau tanpa PTC dari sang reporter, apalagi kalau dalam kasus-kasus tertentu dimana akan menjadi nilai plus jika si reporter nampak di layar. Plus buat beritanya, dan plus buat reporternya tentu saja.

PTC penting saat kita butuh menjelaskan sebuah kejadian tapi tak memiliki gambar yang bercerita, atau fakta-fakta yang ingin anda jelaskan secara lebih personal pada audience anda.

Kalau sudah menghayati nilai dari PTC, setiap Tim Liputan harusnya selalu melengkapi liputan dengan PTC. Masalah dipakai atau tidak, itu adalah pertimbangan belakangan. Biar bagaimanapun, liputan yangt lengkap butuh satu atau lebih PTC dari sang reporter. Tapi bagaimana kalau sedang apes dan kebagian VJ? Mmh.. apalagi kalau kemudian dapat kasus yang perlu PTC. Bagaimana dong?

Berikut adalah tips untuk melakukan. PTC bagi seorang Video Journalist dari Christina Fox. Menurut saya pengaturan ini menarik sekaligus mengingatkan kita pada pentingnya membuat sistem dan SOP. yap.. enough talking, ini tips SOP nya.

  1. Letakan kamera di Tripod (pastikan tripod stabil dan kokoh) kemudian atur lensa agar ada di eye level anda.
  2. Lakukan white balance
  3. Zoom out sejauh mungkin (buat se- wide mungkin), ini mudah dilakukan dengan kamera yang lensanya semi professional ( misalnya untuk kamera VX2000, PD150, PD170 dan XL1s). Kalau menggunakan kamera dan lensa yang lebih professional, sebaiknya lakukan eksperimen dengan angle pengambilan. Posisi lensa wide akan memastikan depth of field lebih luas, sehingga focus gambar tidak akan terlalu tipis, sehingga penonton dapat juga menyaksikan background yang dipilih.
  4. Pilih background yang akan muncul di belakang anda saat PTC. Atur framing nya.
  5. Tilt down sedikit kamera anda dari garis horizontal – ini untuk memperkecil headroom (ruang kosong diatas kepala ) dan menghindarkan anda dari kesan pendek, jika headroom anda terlalu lebaar.
  6. pindahkan pengaturan exposure dan level suara ke Automatic.
  7. Start recording. Pada beberapa kamera yang punya LCD yang bisa diputar 180 derajat, bisa digunakan sebagai Patokan. Putar LCD sehingga kita bisa melihat framing kita.
  8. Mundur dua langkah dari kamera (cek framing di LCD kalau ada) dan letakkan penanda di kaki anda. Pura-pura bicara (PTC) dari posisi itu agar ter rekam.
  9. Cek ulang hasil rekaman. Patikan framing sudah benar, kalau belum sesuaikan.
    Atur fokus pada penanda dan rapikan shooting frame anda. Jadi saat anda berdiri di posisi penanda itu hasil rekamannya akan fokus pada wajah anda.
  10. kunci lagi tripod dengan baik. (mudah-mudahan kunci tripod nya masih baik) kalau tripod nggak bisa dikunci, ganti aja pakai tangga atau meja hehehe.
  11. Start recording - lagi
  12. lakukan piece to camera anda yang sebenarnya.
  13. Setelah selesai, cek lagi… biarpun PTC anda sempurna, siapa tahu ada serombongan orang melambai-lambai di belakang anda saat melakukan PTC.

Memang terkesan panjang pengaturannya. Tapi kalau sudah terbiasa, sebenarnya simple aja kok. Saya juga pernah mencoba ini dan lumayan sukses. Jadi selamat mencoba ya…..
by the way, tahukah hal yang paling menyenangkan saat melakukan PTC sendiri? Tidak perlu bikin sign of panjang panjang!.

Gak usah bilang… Chris rey dan Manfrotto melaporkan,
atau nulis; Budi Afriyan/Vinten/ jakarta….
Cukup nama anda yang muncul. Keren kan?

TIPS PTC UNTUK CAMERA PERSON

Be creative, Be original.


Biarpun bukan sang Camera person yang PTC (kalau mau sih nggak apa...tapi harus tetap nyadar diri ya.. hahaha) tapi seperti semua hal di dunia televisi, PTC yang baik cuma bisa terlaksana apabila ada kerjasama yang baik juga antara campers dan reporter. kalau nggak bisa kerja sama, mati aja deh.. jangan kerja di TV.
Tugas sang camera person adalah memastikan gambar yang dihasilkannya berkualitas sebaik-baiknya dan dapat digunakan dalam berita yang dibuat. Berarti Campers juga bertanggungjawab menegur dan mengingatkan reporter bila ada tampilannya yang tidak pas atau aneh. Kalau reporter tampak aneh di layar, campers juga bertanggungjawab!

Jadi Campers jangan males, cari angle-angle yang keren untuk PTC. Ayo keliling dan bikin sekuen untuk melengkapi (insert) PTC kalau diperlukan. Biakin PTC yang gambarnya belum pernah dibuat, original dan akan selalu diingat orang yang menonton. dibawah ini ada beberapa Tips dan SOP buat campers soal PTC ini, mudah-mudahan berguna:


Camera Work:
Ide gaya PTC bebas, tergantung konteks cerita, tapi ada beberapa Camera work yang umum digunakan. Beberapa camera work yang sudah pernah saya gunakan dan terbukti bisa mengubah

  1. Camera steady, reporter steady. Reporter sudah ada di frame dan langsung PTC.
    Ini framing standar yang udah dipakai sejak jaman batu. kalau masih kayak gini framingnya, jangan ngaku udah jago deh.
  2. Camera Steady dan Reporter inframe (masuk ke dalam frame dari luar frame)
  3. Camera Paning dari pemandangan sekitar ke reporter yang steady. Biasanya digunakan bersamaan dengan Audio advance (suara si reporter masuk saat kamera masih panning dan belum kelihatan sosok si reporter itu).
  4. Camera Panning bergerak mengikuti reporter yang moving. Perhatikan bahwa gerakan Panning harus halus dan cukup lambat untuk diikuti mata. Panjang Panning jangan lebih dari 5 detik. pastikan ada "sesuatu" yg berharga dan layak masuk dalam frame dengan cara menggerakan camera. Kalau nggak ada, pakai steady aja.
  5. Camera zoom in. zoom in dan out jangan lebih dari 5 detik Biasanya dari gambar wide pemandangan atau lingkungan ke close up si Presenter. Gunanya menunjukkan presenter ada dimana saat ia melakukan PTC.
  6. Camera zoom out. Biasanya untuk PTC closing, untuk menunjukkan si presenter ada dimana.
    Saya sendiri lebih menyukai kamera yang steady, karena akan lebih nyaman bagi Audience jika gambarnya tidak bergerak. Zoom in/out dan Panning hanya dilakukan jika ada maksudnya dan tidak ada pilihan lain.

Angle Camera:
Standarnya adalah sejajar mata (eye level), kecuali memang ada maksudnya untuk merubah standar itu. Sebisa mungkin Tripod harus dipakai saat take PTC, kecuali pada situasi tertentu yang menyulitkan pemasangan/penggunaan tripod.

Framing:
Standarnya Reportase: Presenter tampak sebatas dua kancing teratas. Untuk feature atau soft news bisa lebih bervariasi.
Untuk reportase, tempatkan presenter di tengah layar.
Jika terpaksa Medium Shot atau Long Shot diharapkan tidak ada dua orang sejajar dalam satu framing PTC.


SOP CHECK LIST PTC untuk sang campers:
Warisan dari om Hidayat gautama nih….

1) Lokasi: pilih yg relatif noise nya rendah, lalu komparasikan dengan kekuatan vocal reporter kalian dilingkungan itu.
2) Background: sesuaikan dg konteks cerita.
3) Sumber cahaya: usahakan kualitas dan intensitas cahaya PTC tidak berbeda jauh dengan footage yg sebelumnya sudah kalian ambil (ini untuk menghindari jump-cut, dan retina mata kaget).
4) Cek teliti pakai earphones/ headphones kualitas vocal reporter (keras, sedang, rendah), cek teliti artikulasinya ( its a bloody important thing !).
5) Bandingkan/ komparasikan nattsound dan kualitas vocal reporter itu. Lalu pilih, mode manual atau automatic yg perlu kalian lakukan saat setup di audio selector input. Suara nattsound dan vocal reporter tidak boleh sejajar dilevel audio meter atau saling berkejaran. Vocal reporter harus 2-3 level diatas nattsound.
6) Wardobe, Rambut, Bahu (jika diambil sebatas dada doang): betulkan posisi yg tidak rapi, koreksi yg tidak simetris, awasi gerak gerik (gesture) reporter saat latihan membaca berita. Larang mereka melakukan gerakan yg engga natural saat PTC. Jangan kebanyakan senyum, secukupnya aja. pastikan nggak ada norma yang dilanggar dalam berpakaian atau dalam gerakan sang reporter..
7) Copot ID card kantor yg bergantung didada.
8) Batasi PTC hanya hingga 4 kali take, karena kebanyakan take menunjukan kalian hanya kelompok amatir dan bikin lama doang saat editing. Setiap take dibedakan speed readingnya, ada yg lambat banget dan ada yg agak cepat. Tiap berganti take, maka pergantian clip ditandai dg meletakan tangan kalian didepan lensa (on-record) spy mudah saat dicari di editing.
9) Perhatikan cara reporter memegang mic, jaga jaraknya 20 cm dari mulut, boleh lebih dekat jika memang noisenya tinggi.
10) Lakukan latihan dan perhatikan seksama gesturenya, bersikap kritis jika ada kalimat yg engga nyambung. Dengarkan dg teliti artikulasinya, betulkan jika ada salah.
11) Lihat baik-baik apa yg kalian lihat dalam View Finder. Kesalahan sering terjadi karena saat take, mata justru dilepas dari VF.


Good luck dan tetap tinggikan standar mu.


didit

TIPS PTC UNTUK REPORTER

Be Prepared, Be humble, Keep practicing.

Pernah nggak kamu ngerasa minder pas mau PTC? ragu-ragu atau takut keliatan jelek di layar? kalau pernah ya nggak apa apa. Ratusan reporter yang baik masih tetap tegang setiap kali mereka melakukan PTC, padahal mereka sudah sangat sering melakukan PTC.
Takut keliatan jelek itu bagus, karena akan membuat setiap reporter terus memperbaiki diri. Yang harus diwaspadai adalah takut keliatan tidak cantik atau tidak tampan... ukuran jelek atau tidak sebuah PTC bukan pada keberhasilan si reporter terlihat tampan atau cantik. Menurut saya ukuran bagus tidaknya adalah dari keberhasilan PTC itu memperkuat cerita dan citra sang reporter. Citra yang harusnya didapat bukan cantik atau ganteng, tapi kredibilitas si reporter.
dibawah ini ada beberapa Tips yang mudah-mudahan bisa berguna bagi para reporter yang berniat jadi jagoan PTC.

Reporter seharusnya menyiapkan diri sebelum setiap PTC. Persiapan yang dilakukan berkaitan dengan beberapa hal; isi kepala (riset dulu biar ngerti apa yang mau diomongin), cek wardrobe (biar nggak jumping... kalau mau liputan banjir, jangan pakai high heels. liputan wisata pantai jangan pakai baju item itu..), siapkan pendukung (narsum, lokasi, ide PTC diobrolin sama campers), siapkan badan (kalau perlu bersih-bersih, pakai tissue dulu, ilangin keringet... kalau perlu!)

Jangan sok Jaim!! tujuan reporter tampil adalah kredibilitas. kredibel nggak sama dengan cantik atau rapi, kredibel lebih dekat ke cerdas dan sesuai konteks. Makanya kalau PTC sesuaikan dengan konteks dan jangan bikin PTC standar. itu menunjukan kualitas sebagai reporter. (PTC standard = reporter.. standar). kalau disuruh PTC agak ekstrim, lakukan aja (tentunya dihitung juga bahayanya) karena keberanian akan meningkatkan kredibilitas juga. Jangan takut-takut bikin PTC megang uler, ngelus macan, ngangkat rajawali atau sambil bunjee jumping. Yang penting itung dulu resikonya... jangan Jaim ya...

Tampilan jangan berlebihan, sesuaikan dengan konteks berita dan sekelilingmu. Kalau sedang liputan banjir, sandal gunung terlihat cukup pantas, tapi kalau lagi di Istana, Jas oke aja kok. Jangan sok cuek pakai celana pendek ke liputan resmi atau sok jaim pakai baju rapi terus padahal liputannya kumuh. reporter harus bisa membaur dengan lingkungan dimanapun dia berada. tampilan juga termasuk wajah dan gaya, bukannya hanya busana. Kalau lagi liputan liburan, buat sesantai mungkin, kalau untuk musibah ya lebih serius lah..

Ingat durasi. Salah satu yang paling membatasi reporter dan camera person adalah durasi. Reporter harus sadar durasi, kalau akan ditayangkan di berita harian yang durasinya hanya 1 - 3 menit, jangan buat PTC sampai 1 menit, pasti tidak dipakai. Lain lagi ceritanya kalau PTC untuk program feature yang bisa ber durasi 15 menitan.

Reporter yang baik akan memiliki suara yang baik. Powernya harus cukup, sehingga dapat ditangkap sempurna oleh microphone, clarity nya juga menentukan. Terlalu sering menarik nafas atau mengeluarkan bunyi seperti; eeee…mmmhhh….lalluuuu…dannnn… serta sejenisnya mengurangi kepercayaan dari audience. makanya latian dulu sebelumnya... jangan sok pede tanpa latian.

Pronunciation sejelas mungkin ya. Kalau bisa logat-logatnya diilangin dulu deh. Bisa dilatih kok menghilangkan logat itu.

Speed that matter!. Bukan Cuma clarity dan pronunciation yang harus diperhatikan. Speed seringkali malah menjadi masalah dalam PTC. Kalau PTC disampaikan terlalu cepat, selain sulit dimengerti oleh audience, sang reporter/presenter akan berkesan panic atau gugup. Terburu-buru bicara agar segera selesai PTC nya. Sebaliknya kalau terlalu lambat akan membosankan dan terkesan bodoh. Kecepatan yang tepat akan sangat membantu membangun kredibilitas dan mencegah audience berpindah channel.

Bicara secukupnya. Jangan terlalu banyak bumbu, keliatan cerewet dan sok tau. Jangan juga terlalu langsung ke tujuan, nanti kayak orang galak dan nggak cerdas. Ajak audience untuk mengikuti alur ceritamu, bukan sekedar ngomong, tapi ajak pemirsa mendengarkan kamu.

Hanya tuhan yang sempurna. Jadi nggak perlu malu liat catatan, terlihat takut, sedih atau bingung kalau memang sesuai konteks berita. Dalam sebuah bencana alam, tampilan wartawan yang kusut, agak takut tapi tetap berusaha tenang bisa jadi lebih menyentuh daripada seorang reporter yang tampil sempurna.

Yang terakhir, Practice make perfect. Jangan sampai merasa sudah terlalu sempurna, selalu ada ruang untuk perbaikan. Jangan sombong ya…. terus berlatih...

didit

PTC ALIAS PIECE TO CAMERA :

bukan cuma tampang keren dan Jaim.


Wikipedia bilang: A piece to camera is when the presenter of a television show or a character in a film speaks directly to the viewing audience through the camera. Jadi kapanpun, dalam posisi apapun, saat seorang reporter, presenter atau bintang film berbicara secara langsung ke kamera (yang dianggap sebagai penonton) maka sebutannya adalah Piece To Camera.

Seringkali dalam dunia jurnalistik TV, Piece to Camera ini dianggap sama dan sebangun dengan istilah Stand Up yang sering digunakan oleh para broadcaster eropa untuk pelaporan langsung oleh si reporter. Saya sendiri lebih memilih istilah Piece to Camera, karena menurut saya, PTC tidak harus dilakukan dengan berdiri tegap dan resmi menghadap ke kamera. Menurut saya PTC bahkan tak harus dilakukan berdiri. Istilah Stand Up jadi terkesan membatasi nilai PTC, buat saya.

PTC ada beberapa macam, ada yang didepan (PTC opening), ditengah (PTC Bridging) dan dibelakang (PTC Closing). Masing-masing punya fungsi sendiri.

PTC Opening biasanya terletak di bagian depan cerita, sifatnya mengantarkan berita itu sekaligus membuat teaser agar audience terus ingin menonton berita yang diantarkan. Biasanya isinya adalah ringkasan dari inti keseluruhan berita, atau teaser yang mengambil kutipan paling menarik dari berita yang akan disajikan.

PTC bridging biasanya ditengah-tengah cerita. Fungsinya untuk menyambung antara dua bagian berita atau pergantian topic atau lokasi berita (misalnya dalam berita wrap up)
Bridging juga bisa diisi data-data menarik yang tidak ada gambarnya tapi penting. Data-data ini biasanya dipilih yang sekaligus menjadi teaser.

PTC closing adalah yang paling umum dilakukan. Letaknya diakhir berita dan Isinya biasanya pendapat, sindiran, kesimpulan atau pertanyaan tentang yang selanjutnya akan terjadi (what next).

Setelah tahu jenis-jenis PTC, reporter diharapkan bisa memilih PTC yang sesuai untuk memperkuat beritanya. Jenis PTC harus direncanakan sebelum dibuat dan harus dibuat terintegrasi dengan keseluruhan paket. Perhatikan waktu liputan dan sekuennya. Jangan sampai paket liputan dibuat siang hari, tapi PTC bridgingnya langitnya sudah gelap.

Kita sudah sama-sama tahu apa maksudnya PTC, tapi sebenarnya apa sih gunanya? Memang nggak semua berita pantas dan bisa pakai PTC, jadi kita harus tau juga apa aja fungsi PTC. Biar tahu kapan harus bikin dan kapan nggak perlu buat PTC. Saya pernah diajari tentang fungsi PTC oleh beberapa guru saya, diantaranya adalah:


  1. Menjelaskan sesuatu yang tak bisa digambarkan pada pemirsa. Misalnya menjelaskan situasi di tempat pembuangan sampah akhir, dalam PTC bisa disampaikan masalah bau dan kelembaban daerah itu (yang sulit ditampilkan dalam gambar). Atau bagaimana rasanya saat menjalani sebuah terapi, sakit kah? Atau malah nyaman?. Intinya adalah melengkapi sebuah peristiwa dengan informasi yang tidak bisa didapatkan gambarnya.
  2. Menunjukkan usaha yang telah dilakukan oleh tim liputan. PTC itu menunjukkan sejauh mana sang presenter berusaha memperoleh informasi bagi masyarakat dan kendala apa yang membuat mereka tak mendapat info itu. Misalnya PTC didepan gedung pengadilan tentang sidang sebuah kasus yang ternyata tertutup untuk pers.. atau PTC setelah sebuah proses wawancara doorstop, dimana sumber yang diwawancara dilindungi puluhan bodyguard dan tidak mau di stop; sang reporter bisa melakukan PTC segera setelah gagal mewawancara. Menunjukkan bahwa dia sudah berusaha keras tapi gagal mendapat komentar.
  3. Sebagai penyambung antar bagian. Biasanya ada saja sebuah cerita yang terdiri dari beberapa bagian terpisah, baik terpisah waktu (pagi dan malam), terpisah lokasi dan jarak, terpisah fokus bahasan dll. Dalam hal ini PTC dari reporter atau presenter akan menjadi penyambung (bridging) untuk membuat sebuah cerita utuh dalam konteksnya.
  4. PTC adalah tempat sang reporter atau presenter untuk menyampaikan pendapat pribadi atau konklusi thd sebuah berita. Dengan memunculkan diri reporter atau presenter dapat memberi penekanan bagi kesimpulannya. Selain memperkuat berita, PTC itu juga memperkuat image sang reporter atau presenter. Banyak orang yang beranggapan bahwa berita itu harus obyektif (berdasar fakta saja) dan tidak boleh berisi subyektifitas sang peliput. Kenyataannya setiap hari para praktisi menulis berita dari sudut pandang dan persepsinya masing-masing, dan karenanya berita selalu mengandung (sedikit atau banyak) subyektivitas. Saya sendiri setuju dengan Kovach dan Rosenstiel yang menggarisbawahi bahwa subyektifitas selalu terjadi, yang harus dilakukan seorang reporter adalah menguranginya sesedikit mungkin. Bukan hanya mengakui, Kovach dan Rosenstiel bahkan mencantumkan hak menyampaikan subyektivitas atau pendapat sang reporter dalam dasar-dasar jurnalistik menurut mereka[1]. Poin itu adalah: Its practitioners must be allowed to exercise their personal conscience . tentunya penyampaian pendapat itu dilakukan denganb bertanggunjawab. PTC adalah salah satu caranya
  5. PTC juga bisa digunakan untuk menambah daya tarik sebuah berita. Misalnya berita banjir akan lebih dramatis dan menarik bagi audience jika sang reporter PTC berendam didalamnya. Karena fungsi ini, maka PTC juga sering dijadikan arena unjuk gigi dan menambah kredibilitas (dibaca: popularitas) sang reporter atau Presenter.

Jadi intinya PTC adalah hak sang reporter untuk menaikan citra dirinya[2]. Tapi hati-hati, PTC yang bagus memang memberikan nilai tambah bagi sang reporter/ presenter, tapi PTC yang buruk juga bisa berakibat fatal bagi mereka. Seringkali bukannya tampak cerdas, PTC justru membuat reporter terlihat bodoh dan aneh. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencegah hal tersebut terjadi. Diantaranya ada dibawah ini:

Jangan cuma berdiri diam. Seringkali pemula atau bahkan reporter profesional melakukan PTC dengan standar stand up kuno. Berdiri tegak, kaku, senyum dipaksakan dan jaim abisss. Apa serunya kalau Cuma berdiri, kalau lebih dari 20 detik pasti ngebosenin banget. Bikin tampilanmu lebih seru dong. Lakukan sesuatu… lakukan kegiatan…Bikin PTC mu seru, nggak terduga dan bikin orang terus ingat… lebih bagus lagi lakukan PTC sebagai partisipan.

Riset Dulu. Kelihatan tampan atau cantik dan rapi bukan satu-satunya cara membentuk image. Lihat TV asing deh.. presenter seniornya kadang terlalu tua, reporter lapangannya tampangnya biasa banget, tapi mereka kelihatan credible dan pas dengan apa yang diomongin. Gimana caranya biar keliatan credible? Ya pastinya harus ngerti betul yang diomongin. Belajar dulu kek, Riset dulu kek.. mendingan berangkat liputan dengan perut kosong daripada kepala kosong. Jangan sampai PTC Cuma ngapalin kalimat pendek yang sekedarnya. Jangan ngomong sesuatu yang kamu nggak tahu apa-apa. Jangan sampai PTC malah keliatan bodo…

Jangan salah kostum. Cari tahu dulu sebelum liputan, apa jenis liputannya. Kalau nggak tahu sebaiknya pakai pakaian yang netral. Jaim bukan dengan selalu tampil rapi bersih dan wangi (eh wangi nggak muncul deng di layar TV..). yang lebih tepat adalah menyesuaikan diri dengan konteks dan situasi. Salah satu yang paling penting adalah pakaian. Kalau dalam sebuah berita tentang peresmian sebuah pusat kebugaran baru, tentunya tampang keringetan habis olahraga dengan sepatu kets dan training suit lebih cocok daripada high heels dan gaun.

Jangan sok tahu dan berusaha kerja sendiri. Seperti semua hal di televisi, PTC pun harus dilakukan dengan kerjasama yang baik. Biarpun sang reporter cantik, pintar dan sangat menguasai masalah, tetap aja dia bisa keliatan bodoh kalau tidak ada kerjasama dengan campers nya. Misalnya sang reporter udah pasang senyum manis dan gaya sejuta, tapi sang campers malah pakai gaya panning dulu ke arah lain. Atau sang reporter cerita tentang pemandangan indah di sekelilingnya, tapi sang campers malah bikin framing ekstra close up dengan background blurr. Nasehatnya: jadi reporter jangan pintar sendiri. Ngobrol dong ngobrol.. kasih tahu rencanamu pada sang campers dan ngobrol gimana mencapai impact terbaik. Kalau semua bagus, yang untung kan reporter juga…


Udah deh…
Good luck selamat nyoba PTC.

didit





[1] Baca: The Elements of Journalism Revised by Bill Kovach & Tom Rosensteil , 2001
[2] Seorang jurnalis transtv, Ardina yunita kartika, (yang sekarang produser di trans7) melukiskan PTC sebagai berikut: “PTC memang jadi ciri di stasiun TV tempat saya bekerja dulu, TRANSTV.. setiap anak baru wajib PTC di setiap liputan..mau liputan apa aja harus ada PTC-nya,meskipun belum tentu juga ditayangkan..tapi memang alasannya jelas..dengan PTC, tiap reporter akan dibiasakan dengan kamera,jadi kalo ada peristiwa besar yang mengharuskan siaran langsung, tiap reporter tidak kaget lagi.. PTC juga akan menjadi ajang para bos untuk melihat siapa saja yang bisa menjadi pembaca berita atau presenter..dan buat para reporter..semakin sering nongol di TV berarti juga promosi gratis.. kalau bagus, tentunya banyak stasiun TV lain yang tertarik membajaknya..”